Infus, suntik, dan hiburan
lainnya.
Segera setelah
hasil tes darah keluar, segera aku diminta ke unit gawat darurat. Berbaring
dulu. Jelas, lha wong waktu berdiri sudah mulai pusing. Anehnya, sebelum dapat
berita kalau kena gejala DBD, aku merasa tidak seberapa sakit. Memang tidak
lebih baik dari kemarin, tapi juga tidak lebih buruk. Makanya saat itu aku
optimis tak akan opname, apapun penyakitnya.
Tetapi sudahlah.
Nasi sudah menjadi yang kuning. Disini aku berbaring di sebelah seorang ibu
yang menderita luka di perutnya, entah karena apa. Juga ada tabung oksigen, dan
suasana pagi yang kembali ditingkahi hujan. Mungkin karena itu badanku sedikit
menggigil.
Namun akhirnya
badanku harus benar-benar menggigil. Salah satu petugas di ruang UGD itu
mendekatiku dengan nampan steril yang berisi peralatan dan obat-obatan yang
terlihat begitu mengintimidasi. Dan
kemungkinan besar mereka adalah satu urusan di hari-hari mendatang.
“Mas, mau diinfus
di tangan yang mana?” tanya petugas itu. Aku hendak menjawab, “Di bokong bisa
ndak mas?”, sayangnya mungkin itu akan memalukan. “Mas, ini jarumnya nanti besi
apa plastik?”, aku bertanya sekadar memastikan. Si mas pawang jarum dan kabel
itu menatapku dengan pandangan seperti sudah mengidentifikasi seorang alay yang
harus dibasmi dengan artileri kelas berat.
Akhirnya proses
pemasangan infus tadi berjalan dengan tidak menyenangkan. Aku ketakutan melihat
jarum yang akan digunakan untuk melubangi kulitku, saking paranoidnya aku
memilih pejam mata. Dan bertanya macam-macam seperti mencerminkan aku macam tak
sekolah. Salut untuk mereka, mau berurusan dengan pasien rese’ begini, namun
tidak menabok.
Hari pertama di
rumah sakit ini ternyata cukup menyenangkan. Ranjangnya empuk, air
conditioner-nya membuat udara seperti di kutub utara, tivinya bagus, lebar dan
channelnya banyak. Ada
kulkas, dispenser, lemari, dan kamar mandinya berpancuran. Mirip hotel. Sayang
tak ada wifi.
Buka jendela kamar,
view-nya benar-benar staggering. Aku
jamin pemandangan ini tak akan didapat dari kamar rumah sakit manapun.
Bayangkan, mana ada kamar rumah sakit yang langsung memperlihatkan orang jualan
pempek Palembang?
Jadi ini isyarat tidak langsung kalau selama sakit ini disarankan untuk makan
pempek?
Oh, yang paling
penting dari pavilion ini, para perawatnya masih muda dan rata-rata sangat
menarik. Ada
seorang yang semlohay lah pokoknya, bokongnya apalagi. Sayang
wajahnya jutek. Mungkin sering digodai sama pasien. Atau sedang PMS.
No comments:
Post a Comment