92.000
Pagi itu seharusnya
menjadi pagi yang menyenangkan. Arsenal melawat ke San Siro, ada snack, apalagi
yang menganggu? Badanku panas, mungkin sampai 390C. Ibu sampai
bolak-balik mengambil es untuk mengompres jidatku yang sepertinya bisa dipakai
untuk menggoreng telur.
Aku sendiri hanya
merasa sedikit pusing. Itupun mungkin karena pertandingan Liga Champions ini.
Arsenal bermain seperti untuk hanya
mengoper bola, bukan untuk menggetarkan gawang. Transisi antara umpan pendek
dan umpan ‘berbobot’ serangan serasa kacau.
Mungkin Mr. Wenger
berniat mulia dengan sepakbola indahnya, dan Arsenal jelas punya kemampuan
untuk mengoper bola. Sayangnya, tim
muda ini kekurangan orang di tiap lini yang bisa menjelaskan kenapa mereka mengoper bola pada awalnya. Tim ini hanya
kumpulan orang baik. Akan baiklah bila Theo, Andrey, dan Alex bisa mengambil
peran yang lebih antagonis.
Setelah
pertandingan yang berakhir menyedihkan itu, akhirnya kami bersiap ke rumah
sakit lagi. Ke tempat darahku disedot dan diteliti lagi. Aku sendiri merasa
tidak lebih baik dari kemarin, pun tidak lebih buruk. Aku hanya berharap kalau
trombositku bisa naik. Aku hanya mau bersepeda lagi, esok hari.
Aku tak pernah
berharap muluk-muluk.
Dan meski harapanku
hanya tertaruh setinggi pohon semangka, ternyata itupun harus jatuh dan pecah
berantakan. Cek trombosit hari itu menunjukkan kalau ia turun lagi sampai ke
92.000. Vonis dokter jelas. Opname. Gejala demam berdarah. Brengsek.
No comments:
Post a Comment