Pagi itu memang dingin. Air mata surga turun
semenjak subuh, tetapi aku berkeringat dalam selimut. Ah, itu paling karena
demam tadi malam. Keringat keluar, pasti sembuh. Sekarang saatnya menyapu.
Aku bangun menuju kamar mandi, tetapi
ternyata sedang dipakai. Akhirnya berdiri menunggu. Hujan tambah deras saja
rasanya. Berarti tak usah cuci mobil pagi ini. Eh, motorku kebasahan nggak ya?
Ah, nanti tinggal dilap sedikit, kinclong lagi.
Namun tiba-tiba dunia serasa menguning. Lalu
seakan ada gerhana besar, meraup semua cahaya yang seharusnya masuk ke retina.
Dan sekejap setelah itu, sepertinya aku berada di dunia berbeda.
Memang berbeda. Tadinya di lantai, sekarang
di kasur. Ternyata pingsan. Orangtuaku panik. Akhirnya dibawa ke rumah sakit,
mungkin kelanjutan dari demam semalam. Diminta cek darah. Trombosit turun.
Dikira demam berdarah. Kemudian disarankan untuk melihat situasi sehari dulu,
lalu diputuskan apakah perlu opname atau tidak.
Di rumah tidak langsung beristirahat, masih
ada urusan dengan obat-obatan. Dan disinilah ternyata aku menyadari punya
kelemahan yang sangat memalukan sebenarnya. Hanya bisa menelan kalau sudah
mengunyah. Siapa yang mau mengunyah kapsul antibiotik berisi bubuk putih pahit
begitu? Akhirnya diakali dengan menaruh bubuknya di ujung depan lidah, bagian
perasa manis. Tablet pun dipecah dulu.
Hari itu pun kuhabiskan dengan berbaring dan
main FM. Sisi positifnya, aku punya banyak waktu untuk menemukan formulasi
taktik jitu untuk Arsenal virtual-ku (yang sebetulnya tak jauh berbeda dengan
Arsenal milik Mr. Wenger). Yang akhirnya membuatku berpikir, kenapa AW masih
setia dengan 4-3-3-nya, padahal 4-2-3-1 bisa memberi hasil yang lebih baik?
Oh, sesuai saran dokter, porsi makananku
ditambah. Mungkin nanti kalau sembuh, badanku bisa jadi seperti Nunung. Atau
temannya temanku. Semoga saja tidak. Celana-celana dan kemejaku yang berpotongan slim nanti tak muat.
No comments:
Post a Comment