Thursday, March 01, 2012

Dilema Tahu Tek-tek dan Makanan Keliling

Kita di Indonesia punya privilege dalam hal makanan, yang mungkin tak bisa kita dapatkan di luar negeri. Setidaknya, waktu kuliah di Singapore, kalau mau makan malam, saya harus pergi keluar. Nggak ada cerita tukang nasi goreng atau mie pangsit atau roti prata yang keliling di kompleks HDB, apalagi di private apartment. Servis yang mendekati, paling cuma delivery McD atau KFC, atau berbagai pizza. Itupun nggak bisa sering-sering. Mahal.

Nah, sewaktu di rumah, boleh dikatakan saya merasa sedikit dimanja. Cukup banyak pilihan makanan yang quite literally lewat di depan rumah. Siang ada siomay dan batagor, bakso, ataupun rujak buah. Odong-odong nggak masuk hitungan. Sore biasanya mie ayam, kadang-kadang putu labu dan bakpao (meski pasti tanpa pork). Malam, so pasti tahu tek.

Memang secara kualitas nggak bisa selalu disamakan dengan makanan biasa. Apa sih yang bisa diharapkan dari makanan seharga 5.000-8.000? Belom lagi duit bensin dari si abang yang jualan. Bayangkan sendiri berapa cost dari makanan yang dia jual. Tapi meski begitu, saya pikir rasa makanannya sih cukup reasonable, standar. Nggak enak-enak banget, juga nggak diabolically bad. Mungkin, inilah makanan dalam bentuk paling dasarnya, starting point.

Diantara yang jualan, tentu rasanya bervariasi, meski makanannya sama. Tukang nasi goreng satu bisa asin, yang satu pedes, contohnya. Kalau siang, nggak masalah. Saya masih bisa lihat muka sama gerobak yang jual, lalu kira-kira tahu, berdasarkan laporan agen lapangan, rasanya kira-kira gimana. Meski kalau jarang beli makanannya, saya nggak terlalu ambil pusing siapa yang jual. Nah kalau malam, lain cerita.

Identifikasi saya terhadap tukang tahu tek-tek adalah plat nomor motornya, dan perkiraan jam lewatnya. Ngandelin muka nggak bisa, sebab orangnya seringkali berkulit sawot matang, dan kalau malam, nggak banyak membantu untuk identifikasi, kecuali kalo diterangi lampu. 

Anyway, lewat metode ini, saya sudah punya satu langganan. Tapi, orangnya ke Jawa, trus nggak balik lagi. Kentut lah. Padahal tahu tek-tek bikinan dia itu comparatively better dari yang laen, meski perbedaannya kecil. Tapi tetep kerasa lebih enaknya.

Akhirnya, saya harus kembali ke permainan hit and miss seperti dulu, seperti belom ketemu yang pas. Sayangnya, saya nggak lagi ngapalin plat nomernya, soalnya intensitas beli sudah berkurang, nggak 5-kali-seminggu kayak dulu.

Mungkin post ini kedengarannya seperti solid whinging, atau sekedar lebay atas masalah sepele. Tapi bagi saya, ada satu hal yang mendasari situasi ini. Kalo lapar, apa kamu bakalan settle untuk makan tahu tek bikinan tukang yang lewat duluan, meski tahu ada kemungkinannya untuk dapat yang rasanya nggak seberapa enak; ATAU, nunggu yang lebih enak, nanti agak malam?

Sepele, tapi paling nggak ini bikin saya berpikir sedikit lebih banyak, perut atau lidah?

Selasa, 1 November 2011

No comments:

Post a Comment