Kita di Indonesia
punya privilege dalam hal makanan, yang mungkin tak bisa kita dapatkan di luar
negeri. Setidaknya, waktu kuliah di Singapore, kalau mau makan malam,
saya harus pergi keluar. Nggak ada cerita tukang nasi goreng atau mie
pangsit atau roti prata yang keliling di kompleks HDB, apalagi di private
apartment. Servis yang mendekati, paling cuma delivery McD atau KFC, atau berbagai pizza. Itupun nggak bisa
sering-sering. Mahal.
Nah, sewaktu di
rumah, boleh dikatakan saya merasa sedikit dimanja. Cukup banyak pilihan
makanan yang quite literally lewat di
depan rumah. Siang ada siomay dan batagor, bakso, ataupun rujak buah.
Odong-odong nggak masuk hitungan. Sore biasanya mie ayam, kadang-kadang putu
labu dan bakpao (meski pasti tanpa pork).
Malam, so pasti tahu tek.
Memang secara
kualitas nggak bisa selalu disamakan dengan makanan biasa. Apa sih yang bisa
diharapkan dari makanan seharga 5.000-8.000? Belom lagi duit bensin dari si
abang yang jualan. Bayangkan sendiri berapa cost
dari makanan yang dia jual. Tapi meski begitu, saya pikir rasa makanannya sih
cukup reasonable, standar. Nggak enak-enak banget, juga nggak diabolically bad. Mungkin, inilah
makanan dalam bentuk paling dasarnya, starting point.
Diantara yang
jualan, tentu rasanya bervariasi, meski makanannya sama. Tukang nasi goreng
satu bisa asin, yang satu pedes, contohnya. Kalau siang, nggak masalah. Saya
masih bisa lihat muka sama gerobak yang jual, lalu kira-kira tahu, berdasarkan
laporan agen lapangan, rasanya kira-kira gimana. Meski kalau jarang beli
makanannya, saya nggak terlalu ambil pusing siapa yang jual. Nah kalau malam,
lain cerita.
Identifikasi saya
terhadap tukang tahu tek-tek adalah plat nomor motornya, dan perkiraan jam
lewatnya. Ngandelin muka nggak bisa, sebab orangnya seringkali berkulit sawot
matang, dan kalau malam, nggak banyak membantu untuk identifikasi, kecuali kalo
diterangi lampu.
Anyway, lewat metode
ini, saya sudah punya satu langganan. Tapi, orangnya ke Jawa, trus nggak balik
lagi. Kentut lah. Padahal tahu tek-tek bikinan dia itu comparatively better
dari yang laen, meski perbedaannya kecil. Tapi tetep kerasa lebih enaknya.
Akhirnya, saya harus
kembali ke permainan hit and miss seperti dulu, seperti belom ketemu yang pas.
Sayangnya, saya nggak lagi ngapalin plat nomernya, soalnya intensitas beli
sudah berkurang, nggak 5-kali-seminggu kayak dulu.
Mungkin post ini
kedengarannya seperti solid whinging, atau sekedar lebay atas masalah sepele.
Tapi bagi saya, ada satu hal yang mendasari situasi ini. Kalo lapar, apa kamu
bakalan settle untuk makan tahu tek bikinan tukang yang lewat duluan, meski
tahu ada kemungkinannya untuk dapat yang rasanya nggak seberapa enak; ATAU,
nunggu yang lebih enak, nanti agak malam?
Sepele, tapi paling
nggak ini bikin saya berpikir sedikit lebih banyak, perut atau lidah?
Selasa, 1 November
2011
No comments:
Post a Comment