Tuesday, August 16, 2011

Hari Anti-korupsi : Sebuah Renungan Publik dan Pribadi


Tanggal 9 Desember ternyata merupakan sebuah hari penting. Awalnya, bagi saya hari ini merupakan hari biasa saja. Matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, anjing-anjing saya pun masih nakal dan menjengkelkan. Tapi ketika saya lewat di salah satu jalan utama di kota Samarinda, di perempatan Lembuswana tepatnya, ada demonstrasi. Kalau tidak salah dari perkumpulan BEM, entah dari universitas yang mana.

Sebagai seorang pengguna jalan, demonstrasi jelas merupakan satu gangguan. Biasanya, mereka mengambil tempat yang agak minggir, sehingga meskipun berdiri di jalan mereka tidak mengganggu arah traffic empat arah. Namun entah kenapa kali ini mereka berdiri agak ke tengah, sehingga saya terpaksa agak membelok, meskipun tujuannya lurus. Dan kenapa harus bakar ban sih? Bau asapnya nggak harum. Oli motor saya baunya lebih enak, permen karet rasa mint...

Tetapi akhirnya, ini menjadi awal dari sebuah renungan. Kita yang mengakui diri sebagai warga negara Indonesia, mungkin sudah menganggap kegiatan korupsi adalah wajar, meski tidak melakukan. Di koran-koran dan situs berita nasional, berita korupsi sedang menanjak lagi seiring pemilihan pimpinan KPK baru dan kasus-kasus rekening gendut PNS muda. Teringat lagi akan Nazaruddin dan Gayus, dan entah kasus-kasus lain yang tak terungkap. Yang membuat miris, ternyata pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) sudah tersusupi niatan korupsi. Buktinya, ada cerita pembebasan massal terdakwa korupsi.

Siapa yang tidak miris? Kita yang kenal dengan jalan berlubang, rumah reyot, listrik mati, air mati, banjir, kemiskinan, berhadapan dengan orang-orang yang seharusnya membuat hal-hal tadi tidak ada, namun malah sibuk dengan diri sendiri. Mereka yang mengambil hak-hak rakyat, hak-hak kita sebagai boss mereka. Mereka tak akan ada disana apabila rakyat tak memilih mereka. Dan ternyata tak ada hubungan timbal balik yang diharapkan. Atau hubungan timbal balik ini hanya dirasakan oleh orang-orang tertentu saja.

Dan setelah sekian lama memikirkan (atau memaki) hal-hal makro seperti diatas, saya berpikir, apakah saya tak pernah sama sekali merampas hak orang lain? Merampas hak orang lain tidak secara eksplisit seperti nyopet, tetapi secara implisit. Secara halus.

Dalam sebuah tim, untuk tugas atau pekerjaan apapun, setiap anggota biasanya punya tugas tersendiri. Namun apabila seorang tidak menuntaskan tugas-tugasnya, berarti secara konsekuensial harus ada orang lain yang mengerjakan. Dan itu bisa saja merampas kesempatan orang lain itu untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri, dan mengompromikan performa tim secara keseluruhan. Kecuali memang ada deal-deal selain kesepakatan bersama tadi.

Di jalan pun begitu. Sebagai pengendara sepeda motor, saya seringkali berhadapan dengan dilema, apakah saya akan ngebut dan berpindah jalur berkali-kali (ini lebih cepat), ataukah tetap di satu jalur dan mengontrol kecepatan (lebih lambat). Opsi pertama jelas mengompromikan respon orang lain terhadap pergerakan saya, yang mungkin akan menimbulkan kecelakaan, merampas hak mereka untuk merasa aman di jalan.

Mengendarai kendaraan bermotor pun sebetulnya agak merampas hak pesepeda dan pejalan-kaki (meski dua jenis ini jarang di Samarinda) untuk menikmati udara segar. Sewotlah, silakan, namun kenyataannya adalah udara tersebut aslinya tanpa kandungan karbon monoksida dan racun lainnya hasil pembakaran.

Dan setelah sesi pribadi ini, ternyata saya tak terluput dari hal yang saya benci itu...

***
Korupsi, bagi saya, bukanlah lagi mencuri uang orang lain. Setelah direnungi lebih dalam, dalam hal-hal remeh yang tak dianggap, kita bisa jadi merampas hak orang lain, entah sekecil apapun itu. Bagi saya, itulah bukti bahwa mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri adalah sulit. A bit impossible, but not thoroughly un-doable.

Semoga ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Jumat, 9 Desember 2011

No comments:

Post a Comment