Tanggal
9 Desember ternyata merupakan sebuah hari penting. Awalnya, bagi saya
hari ini merupakan hari biasa saja. Matahari terbit dari timur dan
tenggelam di barat, anjing-anjing saya pun masih nakal dan
menjengkelkan. Tapi ketika saya lewat di salah satu jalan utama di
kota Samarinda, di perempatan Lembuswana tepatnya, ada demonstrasi.
Kalau tidak salah dari perkumpulan BEM, entah dari universitas yang
mana.
Sebagai
seorang pengguna jalan, demonstrasi jelas merupakan satu gangguan.
Biasanya, mereka mengambil tempat yang agak minggir, sehingga
meskipun berdiri di jalan mereka tidak mengganggu arah traffic empat
arah. Namun entah kenapa kali ini mereka berdiri agak ke tengah,
sehingga saya terpaksa agak membelok, meskipun tujuannya lurus. Dan
kenapa harus bakar ban sih? Bau asapnya nggak harum. Oli motor saya
baunya lebih enak, permen karet rasa mint...
Tetapi
akhirnya, ini menjadi awal dari sebuah renungan. Kita yang mengakui
diri sebagai warga negara Indonesia, mungkin sudah menganggap
kegiatan korupsi adalah wajar, meski tidak melakukan. Di koran-koran
dan situs berita nasional, berita korupsi sedang menanjak lagi
seiring pemilihan pimpinan KPK baru dan kasus-kasus rekening gendut
PNS muda. Teringat lagi akan Nazaruddin dan Gayus, dan entah
kasus-kasus lain yang tak terungkap. Yang membuat miris, ternyata
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) sudah tersusupi niatan
korupsi. Buktinya, ada cerita pembebasan massal terdakwa korupsi.
Siapa
yang tidak miris? Kita yang kenal dengan jalan berlubang, rumah
reyot, listrik mati, air mati, banjir, kemiskinan, berhadapan dengan
orang-orang yang seharusnya membuat hal-hal tadi tidak ada, namun
malah sibuk dengan diri sendiri. Mereka yang mengambil hak-hak rakyat,
hak-hak kita sebagai boss mereka. Mereka tak akan ada disana apabila
rakyat tak memilih mereka. Dan ternyata tak ada hubungan timbal balik
yang diharapkan. Atau hubungan timbal balik ini hanya dirasakan oleh
orang-orang tertentu saja.
Dan
setelah sekian lama memikirkan (atau memaki) hal-hal makro seperti
diatas, saya berpikir, apakah saya tak pernah sama sekali merampas
hak orang lain? Merampas hak orang lain tidak secara eksplisit
seperti nyopet, tetapi secara implisit. Secara halus.
Dalam
sebuah tim, untuk tugas atau pekerjaan apapun, setiap anggota
biasanya punya tugas tersendiri. Namun apabila seorang tidak
menuntaskan tugas-tugasnya, berarti secara konsekuensial harus ada
orang lain yang mengerjakan. Dan itu bisa saja merampas kesempatan
orang lain itu untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri, dan
mengompromikan performa tim secara keseluruhan. Kecuali memang ada
deal-deal selain kesepakatan bersama tadi.
Di
jalan pun begitu. Sebagai pengendara sepeda motor, saya seringkali
berhadapan dengan dilema, apakah saya akan ngebut dan berpindah jalur
berkali-kali (ini lebih cepat), ataukah tetap di satu jalur dan
mengontrol kecepatan (lebih lambat). Opsi pertama jelas
mengompromikan respon orang lain terhadap pergerakan saya, yang
mungkin akan menimbulkan kecelakaan, merampas hak mereka untuk merasa
aman di jalan.
Mengendarai
kendaraan bermotor pun sebetulnya agak merampas hak pesepeda dan
pejalan-kaki (meski dua jenis ini jarang di Samarinda) untuk
menikmati udara segar. Sewotlah, silakan, namun kenyataannya adalah
udara tersebut aslinya tanpa kandungan karbon monoksida dan racun
lainnya hasil pembakaran.
Dan
setelah sesi pribadi ini, ternyata saya tak terluput dari hal yang
saya benci itu...
***
Korupsi,
bagi saya, bukanlah lagi mencuri uang orang lain. Setelah direnungi
lebih dalam, dalam hal-hal remeh yang tak dianggap, kita bisa jadi
merampas hak orang lain, entah sekecil apapun itu. Bagi saya, itulah
bukti bahwa mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri
adalah sulit. A bit impossible, but not thoroughly un-doable.
Semoga
ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Jumat,
9 Desember 2011
No comments:
Post a Comment