Sunday, February 20, 2011

Wayang

Yesuit itu yang mungkin pertama kali memberikan cerita kuno ini dalam bentuk yang bisa dicerna orang awam. Romo Gabriel Sindhunata, SJ ini dalam bukunya 'Anak Bajang Menggiring Angin' memberikan suatu kisah Ramayana yang tidak kenthel Kejawennya. Paling tidak, ia berbahasa Indonesia baku, dibanding dengan sepenuhnya bahasa Jawa seperti dalang kebanyakan. Itu bagus. Saya cukup bisa berbahasa Jawa, tapi tidak bisa menghadapi seorang dalang dengan lidahnya, apalagi bila mendengar dari radio.

Namun rasa ingin tahu terhadap wayang ini tidak surut. Satu hal yang selalu memantik penasaran, adalah bagaimana seseorang bisa membedakan karakter-karakter pewayangan. Bila dilihat sekilas, kulit sapi yang digerakkan dalang itu tidak jauh berbeda dari satu dan lainnya. Tokoh punakawan Gareng dan Petruk dulu sangat susah saya bedakan. Dan sekarang pun masih.

Seseorang harus jeli bila ingin mengenal tokoh pewayangan dari wayang kulit. Itu adalah nilai yang sulit ditawar. Perbedaan krusial itu tersembunyi dalam detil yang harus diperhatikan. Namun itulah yang mungkin membuat wayang menarik, setidaknya bagi saya.

Kedua, cerita pewayangan tak surut dimakan zaman. Entah dari tahun berapa cerita itu lahir. Mungkin bersamaan dengan kebudayaan India Hindu. Dan sekarang ia tetap ada dan masih dikulik untuk dicari maknanya. Kita tentu tahu tentang seorang Arjuna yang gagahnya bukan kepalang, Dewi Sinta yang cantik tidak karuan (maksudnya cantik mengalahkan siapapun), Rama suaminya, dan Rahwana, raksasa bermuka sepuluh musuh Rama, perlambang segala kejahatan. Meski samar, mereka hidup sebagai ide yang siap pakai dalam obrolan ringan di masyarakat kita. Bahkan OVJ pun kadang mengangkat kisah dari situ.

Mungkin hal kedua itulah yang benar membuat wayang menjadi sebuah karya tanpa waktu. Ia bisa ditafsirkan luas dan mengikuti zaman, sebab ia berdiri atas prinsip-prinsip. Ia tidak mengandalkan ciri fisik dan kesesuaian dengan kemauan penyimak, yang sudah tentu berganti mengikut zaman. Kedalaman filosofisnya membuat setiap orang bisa memetik sesuatu, entah dimana dan kapan ia hadir.

Tetapi dalam penyampaiannya, wayang bergantung dengan dalang. Dalang adalah subyek sekaligus obyek yang menjadikan cerita wayang sebagai hiburan belaka, atau pertunjukan yang lebih bermakna. Ia yang menentukan apakah acara semalam suntuk itu menjadi bermutu. Melalui tafsiran bebasnya, kesenian ini bisa diolah untuk berbagai tujuan, tak terkecuali dagelan politik yang belakangan marak. Jelasnya karena ia menggunakan komunikasi lisan, sehingga lebih gampang dicerna oleh kebanyakan orang bangsa kita yang sulit membaca dan gemar menonton.

Saya tak berhak untuk terus berkata atas nama wayang, sebab ia bukanlah subyek yang saya pahami. Terlalu dini untuk menterjemahkan isinya untuk orang lain. Biarlah sekarang ia menjadi referensi orang banyak untuk diartikan masing-masing.

Minggu, 20 Januari 2011

No comments:

Post a Comment