Sunday, February 20, 2011

Sudut Pandang


Ada berapa banyak talkshow di dunia ini? Hampir semua menyajikan hal-hal yang kurang lebih sama. Bergantung dari kecakapan pembawa acara dalam menggaruk narasumber untuk mendapat berita, setiap awaknya dituntut untuk jadi kreatif, demi jiwa dari acara itu. Sudut pandang dari yang bertanya menentukan arah rating dan nasib acara itu.

Namun saat membaca artikel 'Negeri Para Pengamat' di Kompas hari ini, tanggal 19 Februari 2011, saya mendapat sebuah acara baru, Toni Blank Show. Artikel itu sendiri menceritakan bagaimana pengamat-pengamat di negeri tercinta ini sudah bersukaria dalam segala istilah teknis sesuai bidang masing-masing. Semua demi kelayakan tayang di media, dan biar kelihatan pintar. Segala observasi itu pun akhirnya tenggelam dalam lautan jargon, meninggalkan substansinya. Terkesan elitis.

Itu untuk orang waras. Yang tidak waras pun dibahas. Toni Blank, sang tokoh utama di Toni Blank Show, adalah narasumber yang dimintakan pendapatnya di setiap episode. Konon, penyampaian jawaban dari Bung Toni ini menyamai para pengamat yang elitis. Sayangnya, isinya bubrah. Tidak nyambung, dan istilah-istilah teknis yang digunakannya salah kaprah. 

Awalnya, saya kira dia adalah seorang usia menengah-dekat-tua, atau seorang anak muda sok eksis yang nongkrong di warung kopi sambil ngobrol ngalor-ngidul-ngetan-ngulon tentang politik.

Ketika menonton episode tentang DPR, tawa mungkin adalah konsekuensi tak terhindari. Intronya sendiri sudah mengundang geli di otak saya yang belakangan agak semrawut. Begitu wawancaranya mulai, apa yang dikatakan di artikel oleh Ismail Fajrie Alatas itu jadi kenyataan. Gaya menjawabnya tenang, mirip dengan GM. Karakter wajahnya pun agak mirip. 

Tapi dari situ, bumi gonjang-ganjing (Pak Djito, saya pinjam ungkapannya) untuk memahami apa yang Toni katakan. Namun untuk beberapa hal, apa yang ia katakan masuk akal, sayang ia berkata-kata seperti habis makan pecel dengan kulupan ganja.

Segala jargon yang ia gunakan semuanya gagah. Namun tak semuanya bisa dirangkai dalam satu makna yang sesuai konteks pertanyaannya. Terkesan seperti memaksakan diri. Bisa dikatakan itu adalah parodi terhadap segala kepengamatan yang menggunakan istilah-istilah elit, yang mengaburkan relasi antara pengamat, obyek, dan yang-diberi-pengamatan. Oleh karena banyak istilah itu juga, tak sedikit artikel mengomentari masalah yang sama, dengan inti yang sama, namun penyampaiannya beda. Mungkin ini pun salah satunya.

Tetapi Toni mengetengahkan sesuatu yang baru. Ia yang berpakaian seperti seniman sinting, tidak malu bercakap depan kamera dan mengungkapkan segala sesuatu yang tidak jelas itu. Secara pribadi, Toni Blank Show adalah acara yang baik ditonton sekali-kali (intinya cukup repetitif, membosankan bila ditonton setiap saat), sebagai alternatif dari segala kewajaran acara televisi.

Dan setelah segala analisis ini, saya membaca disini bahwa ternyata ia hanyalah seorang berotak miring (baca: kurang waras) dan tinggal di panti sosial di Jogja. Memang, ada sedikit keanehan yang sempat saya rasakan saat menonton video-videonya. Asumsi awalnya adalah ia seorang seniman nyeleneh, namun ternyata benar-benar gila. Ia bisa berkata semacam itu karena sering membaca buku, dan penyakit jiwanya menanjak, menjadikan ia sebagai orang gila elit.

Boleh saja ia tidak waras. Namun sudut pandang orang sinting memang menarik untuk ditelusuri, apalagi bila dikontraskan dengan hal-hal yang sifatnya menuntut logika, alias kewarasan. Dan ia, atau tim produksinya, berhasil menjadikan sesuatu yang menarik dari itu.

Sabtu, 19 February 2011

Berikut beberapa yang mungkin patut anda simak:








1 comment: