Friday, March 04, 2011

Ia yang Disabdakan


Tanggal 22 Februari lalu diperingati sebagai hari kursi Santo Petrus. Tentu bukanlah memperingati kursi atau tahta yang betul dipakai beliau saat menjabat sebagai kepala jemaat pertama. Kursi itu digunakan sebagai perlambang kedudukannya, sebagai kepala jemaat pertama, sekaligus tanda keberlanjutan karya kerasulan dalam bentuk kepausan. Setidaknya begitu menurut pemahaman dangkal saya.

Petrus, atau Simon termasuk salah satu dari murid awal yang dipanggil oleh Anak Manusia. Ialah yang pertama dipanggil. Ia adalah penjala ikan, dan ia diajak untuk menjadi penjala manusia. Dan ia menurut saja, sembari meninggalkan jala dan perahunya. Pada saat itu, saudaranya Andreas yang sedang bersamanya, turut menjadi murid.

Dalam kelanjutan kisahnya, sering disebutkan bahwa ia punya temperamen keras, namun tidak sejurus dengan kekuatan imannya. Saat di taman Getsemani, ia menyayat kuping Malkhus karena marah dan tidak senang Gurunya diapa-apakan. Saat ia melihat Yesus berjalan diatas air dan hendak mengikutinya, ia ketakutan dan tidak percaya, sehingga tak bisa mengikutiNya. Dan ia menjadi pemenuhan nubuat saat menyangkal Tuhannya tiga kali, demi melindungi diri.

Tetapi atas dialah Gereja didirikan. Bisa dikatakan kalau Perjanjian Baru terdiri dari banyak surat Paulus, dan oleh banyak pihak Katolik dikritik sebagai Paulin. Namun satu hal yang menentukan dari Gereja adalah ia mendapat hidupnya justru saat Yesus menentukan bahwa atas batu karang ini ia mendirikan Gereja-Nya. Sang Allah yang hidup memilih dasar atas seorang yang lemah imannya, kurang ajar tingkahnya, dan keras bicaranya. Yang saat terakhirnya dihabiskan dengan mati secara hina dalam standar duniawi.

Dan saat itulah mungkin kita bisa menyadari akan kekuatan kata. Ketika dianugrahi hak untuk melepas dan mengikat itu, Petrus hanya menjawab sebuah pertanyaan dari sang Anak Manusia. Ia yang bertanya siapakah diriNya. Orang lain menjawab dengan perkataan orang lain, namun Petrus menjawab dengan sesuatu yang dikatakan Allah sendiri. Ia berkata sesuatu yang menjadi dasar iman Kristiani, meski dipandang kontroversial pun sampai sekarang. Sesuatu yang sebetulnya diminta agar tidak disebarkan dahulu.

Dalam suratnya yang dibacakan hari itu, mungkin ia telah berubah menjadi lebih lembut. Sebagai pemimpin ia mengatakan hal yang bertentangan dengan sistem feodalisme yang mungkin secara tidak sadar kita anut. Ia mengatakan seorang pemimpin haruslah menjadi teladan atas bawahannya. Mungkin untuk orang sinis, bisa saja berkilah kalau kekuatan politik Petrus tidak kuat saat itu, sehingga mau tidak mau harus jongkok terhadap bawahan.

Terserah bagaimana melihatnya. Ia sudah mati, dan segala opini tidak banyak berpengaruh terhadap hidupnya. Yang pasti, ada sebuah keteladanan untuk mau terus mengikut dan membaktikan diri hingga hidup kehilangan arti, yang bisa kita petik. Sebuah kisah yang berangkat dari kesederhanaan dan kelimbungan iman, dan berakhir dalam enigma.

Jumat, 4 Maret 2011

No comments:

Post a Comment