Monday, February 07, 2011

Vox Dei

Siapakah Hosni Mubarak (atau bagaimanapun pengejaannya, saya lupa penempatan vokal 'o' dan 'u' dalam namanya)? Sontak Mesir yang kelihatannya adem-ayem itu berubah bergejolak dengan massa yang turun ke jalan menuntut dirinya mundur dari kursi pemerintahan.

Tampak dari berita di televisi, pemicunya adalah kondisi Mesir yang stagnan, saya kira. Sistem dikte yang diterapkan oleh Hosni pun dianggap menjadi biang kerok, sebab kita tahu, demokrasi adalah pangkal dari kemajuan. Dengan catatan, demokrasi itu tidak disalahgunakan.

Tanggapan berbagai pihak di Indonesia beragam. Ada LSM yang sempat berdemo di Bundaran HI, tempat favorit saya rasa, yang intinya sama-sama menuntut Hosni untuk mundur. Pemerintah sendiri kemudian sigap meminta maskapai penerbangan yang punya izin ke Mesir, untuk melakukan evakuasi WNI. Bung Marty Natalegawa menjadi orang yang lumayan sering disorot kali ini, sama seperti saat hiruk-pikuk pahlawan devisa di Arab Saudi.

Saya tidak tahu apakah presep VPVD, vox populi vox dei, berlaku juga dalam sistem dikte. Sebab seperti pengetahuan bersama, Korea Utara sukses menjadikan dinasti keluarga Kim Jong-il (dimulai dari ayah Jong-il, yang saya lupa namanya) sebagai 'sesembahan' resmi di negara itu. Di Cina, kemajuan ekonomi adalah asumsi tujuan bersama, mungkin sembari menafikan kondisi perburuh-an disana yang morat-marit, meski murah untuk investor asing. Pengecualian mungkin bisa ditaruh saat gejolak Lapangan Tiananmen.

Ah, saya lupa terhadap peristiwa 1998. Mahasiswa turun ke jalan sebagai reaksi atas pemerintahan mantan presiden alm. Soeharto yang dirasa-rasa totaliter dan mengekang. Ditambah kenaikan harga bahan pokok di sekitar saat itu, maka jelas reaksi masyarakat melonjak, meski kita tahu penyebab kenaikan harga tersebut lebih baik dialamatkan kepada krisis ekonomi Asia Tenggara.

Tetapi dari sistem komunis dan diktator yang sering dicibir, tujuan awalnya adalah perlawanan terhadap ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial yang terjadi karena sistem kapitalis, sebuah sistem liberal yang digadang-gadang mampu membawa manusia menjadi lebih sejahtera. Manusia dalam komunis nantinya akan dikekang 'demi kebaikan bersama', namun menjadi terlalu bebas dan berbahaya bila dibiarkan menuruti instingnya.

Tetapi akhirnya kita tahu, bahwa dari kedua kutub tersebut, ujungnya adalah sebuah badan yang berfungsi untuk mengatur, dan kemampuannya secara legal tidak akan dipertanyakan. Tujuannya jelas demi kebaikan bersama. Dalam komunis, untuk meratakan 'kebaikan' dari apa-apa saja yang bisa diproduksi. Dalam kapitalis, atau liberal, untuk menegaskan aturan main agar manusia tidak menjadi lupus atas sesamanya.

Disini, saya semakin yakin bahwa dari tiga komponen pembentuk negara, yaitu rakyat, tanah, dan kedaulatan, rakyat adalah komponen yang paling susah diatur, namun sekaligus paling berkuasa dalam jangka panjang. Rakyat yang akan mengamuk bila kebebasannya, kekuatannya untuk berkreasi dibatasi. Rakyat yang mengamuk bila saudaranya bebas untuk memangsa sesamanya. Rakyat yang setia dan berbakti untuk kebaikan bersama bila ternyata ia nyaman dalam sebuah negara. Deus yang memberi ganjaran ketika ia dihormati, yang mengamuk ketika ia dilecehkan.

Namun anehnya dalam sistem demokrasi di Indonesia, saya tidak tahu apakah pemerintah sudah tuli terhadap suara orang-orang di tanah Saudi. Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar dalam sebuah wawancara, tetap meyakini bahwa kebaikan dari pengiriman pahlawan devisa kesana pasti lebih banyak manfaatnya daripada masalahnya. Tetapi ketika menghadapi Mesir yang bahayanya masih belum terjadi, kenapa kita malah tidak serius terhadap bencana sosial yang sudah cukup lama terjadi di negara lain?

Suara rakyat mungkin sudah tidak dianggap menentukan, kecuali saat pemilihan. Mereka yang menyumbang banyak untuk para wakil dan kebaikan bersama, dinafikan demi kenyamanan yang disumbang. Manusia sudah menurunkan derajat suara yang seharusnya mereka dengar, kemudian memilih mendengarkan insting mereka sendiri. Mereka memilah mana yang mereka ingin dengar, dan mana yang tidak ingin mereka dengar. Penyelesaian secara baik-baik mungkin akan perlu waktu lama.

Manusia bukanlah tuhan, entah bagaimanapun sambungannya. Namun presep VPVD tak akan bisa diubah menjadi VPVR, vox populi vox rex. Kekuatan raja bergantung dari rakyat. Rakyat bergantung atas diri dan sesamanya, dan kehendak mereka adalah satu. Mereka hanya mirip denganNya dalam sebuah kehendak yang satu, dan kekuatan yang tidak bergantung atas yang lain. Saat suaranya tidak didengar, barangkali akan ada satu dan lain hal yang terjadi agar suaranya menjadi nyata Mungkin tidak akan melibatkan banjir katak atau kematian. Semoga.

Selasa, 1 Februari 2011

No comments:

Post a Comment