Saturday, February 19, 2011

Sang Pemimpi

I

RCTI hari itu, tanggal 3 Januari 2011, menayangkan Sang Pemimpi. Saya ingat jelas ketika akan ada premiere film tersebut, Ariel menjadi umpan utama untuk menarik penonton, spesifiknya para perempuan muda. Satu kali saya menonton liputannya di sebuah acara infotainment, mereka seperti biasanya, histeris sambil menyambut vokalis itu.

Secara film, saya tidak berani berkomentar, karena memang tidak menonton secara penuh. Tetapi bagi sebagian orang, representasi nyata dari khayalan abstrak sebuah novel tentu menarik. Apakah pandangan mereka selama ini yang bersumber dari bahan bacaan itu sesuai dengan pandangan dari tim produksi film, itulah yang biasanya menjadi alasan untuk menonton. Kita tidak perlu repot untuk memikirkan segala setting, emosi, semua visual cues yang ditulis di novel tidak harus dibayangkan. Kita hanya tinggal menonton.

II

Novel itu saya pinjam dari seorang teman yang baik sekali (kalau dibilang cukup baik nanti susah untuk jadi teman lagi) untuk meminjamkan kepada saya. Dan sekiranya tidak harus disesali, sebab memang buku itu cukup menarik, namun entah ada hal yang mengganjal. Seperti pendapat orang, gaya penulisan yang cukup bombastis dan hiperbol dari Andrea memberikan efek yang nendang. Saya yakin, tidak banyak buku yang berisi kelebihan humor sepanjang perjalanan membacanya. Dan Sang Pemimpi adalah salah satu yang memancing senyum-senyum sendiri.

Jika harus digolongkan (yang jelas susah, seperti menggolongkan jenis-jenis musik yang terus saja berkembang), maka pendapat saya adalah buku itu termasuk reality-inspired fiction. Awalnya saya menganggap novel itu adalah fakta, namun berubah setelah tak sengaja membaca di Internet tentang sedikit kontroversinya. Sepertinya ada cukup banyak orang yang betul-betul menjadikan Andrea sebagai salah satu idola yang karyanya harus dipertahankan dengan segala cara. Mungkin memang tidak begitu, tetapi begitulah kesan pribadi saya.

Novel itu menggugah. Memang harus diakui, cerita dari kampung tentang seseorang yang punya mimpi besar kemudian berusaha menggapainya, dan relatif sukses, adalah all-time bestseller. Apalagi ditengah banyaknya orang yang membutuhkan motivasi (lihat saja orang-orang yang berbisnis seminar motivasi). Mereka yang tidak mampu membayar begitu tinggi untuk mendengar orang-orang necis berbicara diatas panggung dengan segala efeknya, mungkin merasa lebih baik membaca novel seperti itu. Tambah ceritanya yang merakyat dan lucu, maka lebih mengena, daripada sepotong-potong ide. Maka novel dengan genre seperti ini cukup mendulang sukses, dicontohkan lagi oleh Negeri 5 Menara.

Oh, saya tidak tahu apakah unsur Islam yang cukup kental dari kedua novel tersebut juga membantu penjualan. Jika diamati, memang cukup banyak hal-hal yang berkaitan dengan Islam muncul belakangan dan diminati oleh masyarakat. Tidak aneh juga sebetulnya bila menimbang populasi warga negara Indonesia yang mayoritas menganut keyakinan itu.

Tetapi kemudian, 'kemeriahan' novel itu sendiri menjadi bumerang, setidaknya bagi saya. Entah seberapa menginjak-tanah-nya cerita itu, terasa seperti di awang-awang. Terasa seperti Andrea yang bercerita kepada saya. Saya tidak masuk dalam ceritanya. Ajakan kawan yang sering digunakannya pun hanya seperti ajakan untuk memperhatikan.

Well, saya bukan seorang kritikus sastra, jadi tidak usahlah dijadikan pedoman untuk membaca. Apalagi untuk buku yang sudah lama beredar, dan sudah dibaca banyak orang yang lebih kompeten untuk memberi kritik dan komentar.

III

Kemudian saya ingat kalau kasus video Ariel sudah sampai pada vonis. Terlepas dari kontroversi dan tuntutan dari berbagai elemen masyarakat, saya sampai pada satu kesimpulan kalau Ariel bermimpi untuk bebas. Memang ia tidak akan dihukum seandainya video itu tidak disebar, tetapi dengan kenyataan kalau itu beredar dan sampai ke polisi, maka tidak ada alasan untuk menunda proses. Si penyebar dituntut dengan privacy breach (mungkin, saya tidak sempat mengikuti seluruh beritanya), dan para pemeran dari video tersebut dengan tindakan asusila. Semoga memang benar begitu adilnya. Kalau tidak, kejaksaan mungkin akan dituding membesar-besarkan kasus hanya karena yang diadili seorang terkenal.

Perjalanan Peterpan untuk sampai pada level sekarang tidak main-main. Mulai dari musik mereka zaman dulu yang sempat dicibir banyak orang (saya salah satunya, terutama mengenai gaya vokal Ariel yang seperti dikekang dan akhirnya terdengar aneh, waktu itu), hingga menjadi salah satu band yang albumnya terjual jutaan. Tetapi entah kenapa, selalu si vokalis yang mendapat jatah lebih di berbagai pemberitaan. Namun memang harus diakui, warna suara yang khas itu semakin mendapat bentuknya, dan secara pribadi, itu merupakan salah satu daya tarik dari sebuah lagu.

Dan persona satu ini terus menjadi seorang yang dipuja dalam masyarakat kita, setidaknya oleh para fans beratnya, yang terutama adalah perempuan. Cerita-cerita pribadinya pun menjadi santapan lezat, seperti saat ia makan sate karena sering kemalaman di studio. Puncaknya jelas ketika arsipnya yang paling rahasia pun terjadikan konsumsi publik. Dari situ, berbagai masalah pun muncul.

Entah kenapa bagi saya, pemunculannya di film Sang Pemimpi itu yang kebetulan pas dengan hingar-bingar kasusnya, seakan menegaskan sebuah mimpi. Entah mimpi untuk bebas, untuk kembali ngeband, menyelesaikan album (kalau belum selesai) dan peluncurannya, untuk hidup dengan Luna, untuk kembali seperti dulu. Seperti Nazriel Irham yang menikmati berada di atas panggung.

Saya tidak setuju dengan apa yang dilakukannya secara personal. Tetapi saya agak menunggu, apa lagi yang kelompok musiknya akan tampilkan nanti. Mungkin lebih baik daripada mendengar sesuatu yang semuanya mirip, dan entah kenapa selalu diputar di televisi.

Sabtu, 5 Februari 2011

1 comment:

  1. kok sepertinya kata-katanya tersirat sedikit iri dengan si tokoh.. hhe, cuma nebak, kawan.

    untuk kalimat akhir, aku juga berharap begitu.

    ReplyDelete