Pengalaman ini sebaiknya tidak ditiru. Satu pagi, tanpa sarapan berarti, hanya segelas air putih, saya berangkat bersepeda. Sebetulnya ini cuma iseng saja. Bapak saya akan pergi hari itu, dan rencananya kami akan berangkat bareng. Saya cuma ingin tahu apakah start saya di lampu merah sudah lebih cepat dari mobil bapak. Namun karena sopirnya belum datang, akhirnya saya duluan.
Rencananya hanya mutar-mutar sejenak di stadion dekat rumah. Tapi bosan. Tambah lagi, tidak ada atlet sepeda yang tempo hari saya lihat. Jadinya, tidak bisa minta tips-tips bersepeda yang baik, benar, cepat, dan tahan lama. Yang ada hanya beberapa bapak gendut jogging, penjual minuman, dan atlet latihan sprint.
Lalu saya ke jalan, tanpa tujuan. Saya beranikan diri ke kota, meski tanpa perlengkapan berarti dan ransum cukup. Hanya saya dan sepeda, tanpa helm, tanpa pelindung apapun, tanpa minuman. Sebetulnya agak ngeri juga, mengingat kelakuan pengendara sepeda motor yang nyeleneh disini (meski saya juga pengendara motor, namun itu nanti saja dibahas). Tapi dengan tekad serat karbon (yang lebih kuat dari besi) mendekati idiot, saya mengayuh terus.
Hadangan pertama, tanjakan jalan M. Yamin yang berakhir di SPBU. Pertamanya, saya kira itu cukup berat. Namun menilik pengalaman naik motor, tanjakan itu bisa dilalui dengan gigi 4, saya rasa tak terlalu berat. Ternyata ringan saja. Ah, saya agak merasa jadi seperti Lance Armstrong. Betul-betul terbuai hati ini.
Kemudian lampu-lampu merah daerah kota. Saya pede saja ambil paling depan, lebih depan dari sepeda motor yang biasanya sok depan. Saya bayar pajak jalan kok atas sepeda motor saya. Pandangan mengunci kepada jalan rute lurus di depan. Haqqul yakin start saya lebih cepat. Tetapi itu betul-betul penting, kalau tidak mau diberi klakson dan diteriaki goblok. Lagipula, di jalur kiri yang boleh jalan terus, anjuran untuk berada mepet trotoar tidak mungkin dilaksanakan kalau tidak belok kiri.
Tiba di pasar tengah kota. Heran ada situasi begini, dengan jalan yang satu jalur ruasnya paling banter lima meter. Sejujurnya saya rada ciut, karena kadang pengendara sepeda motor bisa mendadak buka gas begitu ada celah di kanan jalan, jadi saya rela saja berdesak-desakan dengan angkot dan gerobak di kiri.
Rutenya menuju SMP saya dulu, SMPN 1 Samarinda jalan Bhayangkara, yang macetnya tidak karuan kalau sudah jam berangkat dan pulang sekolah. Kadang saya merasa sebagai orang tolol kalau melintas di jalan itu saat jam sibuk. Sepeda saya yang agak berlumpur itu (kemarin dipakai di tempat tak beraspal dan belum dicuci) masuk ke kompleks SMP, sekadar lewat. Sempat dilihat oleh guru-guru yang kebetulan sedang bercengkrama di ruang depan. Akhirnya pulang.
Rute pulang ini melibatkan lebih banyak fluktuasi ketinggian. Dan macet yang melanda, membuat kayuhan ini tidak bisa konstan. Terlalu sering harus berhenti di tanjakan dan mulai lagi, karena ada pertigaan tidak jelas yang entah kenapa selalu macet. Belum lagi angkot yang berhenti tanpa tanda. Seandainya lancar, tanjakan itu tidak susah.
Turunan setelahnya pun begitu. Pengendara yang terjebak dalam situasi yang sama dengan saya sebelumnya, melampiaskan dengan membuka gas saat turunan. Akibatnya, agak susah mencari jalan untuk ke sisi kanan. Saya bersyukur tidak ditabrak.
Ada sebuah tanjakan lagi, yang ini berat. Tidak main-main, saya agak bingung menghadapinya, apalagi otot paha saya mulai mengeluh. Tapi dengan semangat baja dan iming-iming nasi pecel setelahnya, saya pacu terus. Sebetulnya, saya agak ingin mempermalukan seorang didepan saya yang menuntun sepeda di tanjakan itu. Tetapi tanjakan ini adalah yang saya sukai. Turunan setelahnya begitu menyejukkan, mungkin derajat kemiringannya 30 keatas, hampir 40.
Pulang, setelah bersepeda sejauh kira-kira 15 kilometer (tidak memperhitungkan mutar-mutar di stadion, yang mungkin ada 10 kali), saya capek. Badan bergetar karena tidak makan dan minum. Lambung mengaing-ngaing.
Namun saya bangga. Menurut jam alami, saya yakin perjalanan dari rumah ke jalan Bhayangkara tadi, paling lama 30 menit. Itu sama dengan naik angkot, lebih lama 10 menit daripada dengan sepeda motor. Sepanjang jalan, saya berpikir, kalau memang bisa bersepeda, kenapa harus bermotor? Saya tertawa pada orang-orang yang antri BBM di SPBU, meski saya bingung juga kemana harus mencari pertamax yang stoknya habis hari itu.
Bersepeda untuk kegiatan rutin, entah bike to work atau bike to school, bila dilakukan secara berjamaah, saya yakin akan jadi bike to fun, sebab kita tidak terkendala helm untuk berkomunikasi dengan sesama pengguna jalan. Anda adalah orang bodoh bila berkendara sambil bercengkrama dengan pengguna jalan lainnya. Namun bagi pesepeda, kami bercakap hanyalah menunda lelah dan menikmati hari dengan kawan.
Dan kami bisa tertawa pada anda yang menggerutu dibalik helm atau kemudi setir karena macet.
Sabtu, 19 Februari 2011
No comments:
Post a Comment