Belakangan ini, minat saya untuk membaca buku tumbuh lagi. Sempat tersendat karena ketersediaan stok film dan tv show yang lumayan, koran, dan berbagai artikel di internet lainnya. Memang cukup banyak membaca, namun bagi saya, lebih afdol kalau membaca di kertas atau buku. Koran bukanlah koran kalau tidak dicetak, buku bukanlah buku kalau tidak berkertas. Katakanlah saya kolot. Tidak marah kok.
Satu buku yang menarik minat saya adalah 'Bersyukur dan Menggugat Diri', berisi kumpulan tajuk rencana dan berbagai tulisan dari Jakob Oetama, seorang lain pendiri Kompas. Kalau anda-anda ada yang berniat menjadi jurnalis, ada banyak hal bermanfaat yang bisa anda petik disini. Entah itu tersirat, seperti yang tertulis di bab khusus mengenai jurnalisme, atau penjelasan tidak langsung di berbagai tulisan lain yang tak melulu berfokus pada jurnalisme.
Dalam proses membacanya, saya sebetulnya banyak menemukan rintangan dalam memahami banyak hal disitu. Boleh dikatakan, penyampaian ide dalam karya-karya itu adalah elok. Tidak langsung pada sasaran dan melupakan yang lain, namun menyatukan unsur-unsur pembentuk ide dan makna, sehingga pembaca mendapat penjelasan lebih utuh. Memang untuk menerka apa intinya agak susah, namun mungkin begitulah gaya beliau. Atau memang kemampuan kerja otak saya yang lemah. Tergantung bagaimana anda menilai saja.
Banyak hal yang diungkapkan di buku itu. Satu yang menarik bagi saya adalah keluhan abadi mengenai rendahnya minat baca. Kehadiran media-media yang merangsang banyak indra / multimedia, membawa dilema. Di satu sisi, ini menarik orang-orang untuk menambah khazanah informasinya, dikarenakan rangsangan dari item-item multimedia ini memang kuat. Seseorang tidak hanya dimanjakan penglihatannya, namun juga pendengaran dan penyerapan idenya. Bisa dikatakan, seseorang dibombardir dari berbagai sisi. Hal yang ditawarkan adalah lebih lengkap, sebab memanfaatkan berbagai karakteristik penerimaan dari indera-indera manusia.
Dalam multimedia, pembuatnya punya medium lebih untuk membentuk kerangka berpikir yang sesuai dengan keinginannya. Dan bukan tidak mungkin dalam jangka pendek, sebuah medium multi indera begitu lebih cepat membentuk kesimpulan atau opini, yang tentu sesuai dengan keinginan si pembuat. Penyimak hanya perlu menerima, tidak harus sampai berpikir keras semacam ketika membaca. Penyimak bisa bersifat pasif. Hampir segalanya sudah disediakan.
Kemudian, bila memang medium multi indera lebih cepat membentuk persepsi dan menyampaikan makna, kenapa berkurangnya minat baca harus dipersoalkan? Bukankah buku sendiri adalah medium lain dengan tujuan yang kurang lebih serupa? Dan kalau memang menuntut menaikkan minat baca, apakah tidak berbeda dengan kemunduran? Jika ada yang praktis, kenapa harus berepot-repot? Apakah harus kay poh seperti Martha, dan tidak simpel seperti Maria?
Jika dibandingkan dengan membaca, seseorang tidak mendapat banyak rangsangan. Paling banter ya melihat. Atau mendengar, bila ternyata materinya adalah audio. Kalaupun bisa audiovisual, perlu usaha lebih dari sekadar menyetel video. Dikontraskan dengan multimedia, tentu kalah. Hampir dari segi apapun. Bayangkan ada berapa orang yang biasanya hadir dalam bedah buku baru. Namun kalau ada film baru masuk bioskop, atau ada tayangan baru di televisi, bandingkan audiensnya dengan jumlah orang yang ikut bedah buku. Kontrasnya kelihatan jelas.
Namun positifnya buku adalah kemampuan penempatan subyeknya dalam kebebasan. Kebebasan bagi pembaca untuk mengambil jarak dan memikirkan kembali apa yang tertulis dalam buku itu. Merenungkan argumen, relevansi, dan kegunaan dari makna yang hendak disampaikan penulis.
Dalam kebebasannya, ketika seseorang berpikir untuk menemukan makna tulisan, maka seseorang juga menyertakan sudut pandangnya dalam persoalan di bahan bacaan itu. Dia berpendapat mengenai persoalan itu dalam dirinya, real time, dengan saat dia memperoleh persoalan itu. Saat pendapatnya sudah terbentuk, itu menjadi batu penjuru untuk pemahaman lebih lanjut terhadap hal-hal selanjutnya yang ditawarkan buku atau materi bacaan itu. Pemahamannya ini bisa saja berlanjut menjadi prinsip-prinsip pribadi dalam menghadapi persoalan lain
Kecepatan diri memaknai informasi yang ditulis di buku itu pun ditentukan oleh pembaca. Ini dimungkinkan karena ruang berpikir seseorang tidak dipersempit dengan proses penerjemahan input dari indera-indera lain, dan juga oleh tidak adanya keharusan untuk menyama-langkahkan diri dengan sumber informasi. Kita bisa berhenti sejenak, tanpa harus takut kehilangan arah.
Dalam hal ini, kebebasan berpikir dan berpendapat yang ditawarkan oleh bahan bacaan terhadap subyek pembaca, berfungsi meluaskan kemampuan berpikir subyeknya. Kemudian periode internalisasi pendapat menjadi sikap itu mengarahkan pembaca pada perkembangan jiwa. Perkembangan jiwa ini nantinya, yang diharapkan menuju arah positif, menjadi tonggak perkembangan masyarakat secara kolektif. Tentu saja bahan-bahan yang direfleksikan itu harus sesuai dalam garis besar moral masyarakat itu sendiri.
Fungsi mengembangkan mental dengan berpikir, berpendapat, dan berhadapan dengan ide-ide inilah yang sebetulnya mengharuskan dosis bacaan seseorang adalah mencukupi. Keaktifan mental inilah yang dicari. Terlalu banyak stimuli terhadap seseorang akan menyebabkan seseorang itu lambat laun menjadi pasif. Nrimo saja. Tidak kritis, tidak nggumunan. Seseorang mungkin tidak bisa selalu aktif berpikir, namun ketika akumulasi ide dan makna yang didapatnya dari kegiatan membaca terealisasi dalam diri dan perbuatannya, tak ada salahnya juga.
Tetapi kebebasan yang ditawarkan oleh buku tidak gratis. Harga yang harus dibayar adalah waktu dan usaha untuk memahami apa yang tertulis. Sebagian, itu karena memang kurangnya stimulus. Pembaca menggunakan pemikirannya sendiri untuk mencapai kesimpulan terhadap materi bacaan.
Berpikir itu melelahkan, karena manusia mengaktifkan otaknya. Kalau tidak percaya, kerjakanlah soal-soal matematika ketika anda hanya berbekal dua tangkup roti tawar. Atau membaca materi filsafat dan teologi dengan ransum yang sama. Eksperimen ini agak o'on, tapi kira-kira kalau anda mencoba, anda akan merasa lapar atau lelah lebih cepat, dibanding ketika anda melamun saja dengan ransum yang sama.
Anyway, membaca tidak harus seperti yang diatas. Membaca bisa menjadi kegiatan rekreasi, meski tidak harus membaca buku atau artikel yang berkaitan dengan kegiatan serupa. Memaknai baru sesuatu yang dikira sudah dipahami, menikmati ide-ide mengenai refleksi diri, atau tertampar kecut karenanya.
Satu buku yang menarik minat saya adalah 'Bersyukur dan Menggugat Diri', berisi kumpulan tajuk rencana dan berbagai tulisan dari Jakob Oetama, seorang lain pendiri Kompas. Kalau anda-anda ada yang berniat menjadi jurnalis, ada banyak hal bermanfaat yang bisa anda petik disini. Entah itu tersirat, seperti yang tertulis di bab khusus mengenai jurnalisme, atau penjelasan tidak langsung di berbagai tulisan lain yang tak melulu berfokus pada jurnalisme.
Dalam proses membacanya, saya sebetulnya banyak menemukan rintangan dalam memahami banyak hal disitu. Boleh dikatakan, penyampaian ide dalam karya-karya itu adalah elok. Tidak langsung pada sasaran dan melupakan yang lain, namun menyatukan unsur-unsur pembentuk ide dan makna, sehingga pembaca mendapat penjelasan lebih utuh. Memang untuk menerka apa intinya agak susah, namun mungkin begitulah gaya beliau. Atau memang kemampuan kerja otak saya yang lemah. Tergantung bagaimana anda menilai saja.
Banyak hal yang diungkapkan di buku itu. Satu yang menarik bagi saya adalah keluhan abadi mengenai rendahnya minat baca. Kehadiran media-media yang merangsang banyak indra / multimedia, membawa dilema. Di satu sisi, ini menarik orang-orang untuk menambah khazanah informasinya, dikarenakan rangsangan dari item-item multimedia ini memang kuat. Seseorang tidak hanya dimanjakan penglihatannya, namun juga pendengaran dan penyerapan idenya. Bisa dikatakan, seseorang dibombardir dari berbagai sisi. Hal yang ditawarkan adalah lebih lengkap, sebab memanfaatkan berbagai karakteristik penerimaan dari indera-indera manusia.
Dalam multimedia, pembuatnya punya medium lebih untuk membentuk kerangka berpikir yang sesuai dengan keinginannya. Dan bukan tidak mungkin dalam jangka pendek, sebuah medium multi indera begitu lebih cepat membentuk kesimpulan atau opini, yang tentu sesuai dengan keinginan si pembuat. Penyimak hanya perlu menerima, tidak harus sampai berpikir keras semacam ketika membaca. Penyimak bisa bersifat pasif. Hampir segalanya sudah disediakan.
Kemudian, bila memang medium multi indera lebih cepat membentuk persepsi dan menyampaikan makna, kenapa berkurangnya minat baca harus dipersoalkan? Bukankah buku sendiri adalah medium lain dengan tujuan yang kurang lebih serupa? Dan kalau memang menuntut menaikkan minat baca, apakah tidak berbeda dengan kemunduran? Jika ada yang praktis, kenapa harus berepot-repot? Apakah harus kay poh seperti Martha, dan tidak simpel seperti Maria?
Jika dibandingkan dengan membaca, seseorang tidak mendapat banyak rangsangan. Paling banter ya melihat. Atau mendengar, bila ternyata materinya adalah audio. Kalaupun bisa audiovisual, perlu usaha lebih dari sekadar menyetel video. Dikontraskan dengan multimedia, tentu kalah. Hampir dari segi apapun. Bayangkan ada berapa orang yang biasanya hadir dalam bedah buku baru. Namun kalau ada film baru masuk bioskop, atau ada tayangan baru di televisi, bandingkan audiensnya dengan jumlah orang yang ikut bedah buku. Kontrasnya kelihatan jelas.
Namun positifnya buku adalah kemampuan penempatan subyeknya dalam kebebasan. Kebebasan bagi pembaca untuk mengambil jarak dan memikirkan kembali apa yang tertulis dalam buku itu. Merenungkan argumen, relevansi, dan kegunaan dari makna yang hendak disampaikan penulis.
Dalam kebebasannya, ketika seseorang berpikir untuk menemukan makna tulisan, maka seseorang juga menyertakan sudut pandangnya dalam persoalan di bahan bacaan itu. Dia berpendapat mengenai persoalan itu dalam dirinya, real time, dengan saat dia memperoleh persoalan itu. Saat pendapatnya sudah terbentuk, itu menjadi batu penjuru untuk pemahaman lebih lanjut terhadap hal-hal selanjutnya yang ditawarkan buku atau materi bacaan itu. Pemahamannya ini bisa saja berlanjut menjadi prinsip-prinsip pribadi dalam menghadapi persoalan lain
Kecepatan diri memaknai informasi yang ditulis di buku itu pun ditentukan oleh pembaca. Ini dimungkinkan karena ruang berpikir seseorang tidak dipersempit dengan proses penerjemahan input dari indera-indera lain, dan juga oleh tidak adanya keharusan untuk menyama-langkahkan diri dengan sumber informasi. Kita bisa berhenti sejenak, tanpa harus takut kehilangan arah.
Dalam hal ini, kebebasan berpikir dan berpendapat yang ditawarkan oleh bahan bacaan terhadap subyek pembaca, berfungsi meluaskan kemampuan berpikir subyeknya. Kemudian periode internalisasi pendapat menjadi sikap itu mengarahkan pembaca pada perkembangan jiwa. Perkembangan jiwa ini nantinya, yang diharapkan menuju arah positif, menjadi tonggak perkembangan masyarakat secara kolektif. Tentu saja bahan-bahan yang direfleksikan itu harus sesuai dalam garis besar moral masyarakat itu sendiri.
Fungsi mengembangkan mental dengan berpikir, berpendapat, dan berhadapan dengan ide-ide inilah yang sebetulnya mengharuskan dosis bacaan seseorang adalah mencukupi. Keaktifan mental inilah yang dicari. Terlalu banyak stimuli terhadap seseorang akan menyebabkan seseorang itu lambat laun menjadi pasif. Nrimo saja. Tidak kritis, tidak nggumunan. Seseorang mungkin tidak bisa selalu aktif berpikir, namun ketika akumulasi ide dan makna yang didapatnya dari kegiatan membaca terealisasi dalam diri dan perbuatannya, tak ada salahnya juga.
Tetapi kebebasan yang ditawarkan oleh buku tidak gratis. Harga yang harus dibayar adalah waktu dan usaha untuk memahami apa yang tertulis. Sebagian, itu karena memang kurangnya stimulus. Pembaca menggunakan pemikirannya sendiri untuk mencapai kesimpulan terhadap materi bacaan.
Berpikir itu melelahkan, karena manusia mengaktifkan otaknya. Kalau tidak percaya, kerjakanlah soal-soal matematika ketika anda hanya berbekal dua tangkup roti tawar. Atau membaca materi filsafat dan teologi dengan ransum yang sama. Eksperimen ini agak o'on, tapi kira-kira kalau anda mencoba, anda akan merasa lapar atau lelah lebih cepat, dibanding ketika anda melamun saja dengan ransum yang sama.
Anyway, membaca tidak harus seperti yang diatas. Membaca bisa menjadi kegiatan rekreasi, meski tidak harus membaca buku atau artikel yang berkaitan dengan kegiatan serupa. Memaknai baru sesuatu yang dikira sudah dipahami, menikmati ide-ide mengenai refleksi diri, atau tertampar kecut karenanya.
No comments:
Post a Comment