Sunday, February 13, 2011

Elite

Nasional Demokrat baru-baru saja merayakan setahun kehadirannya di tanah air. Sejujurnya, saya tidak pernah terlalu peduli terhadap apapun yang berbau politik atau berkonotasi dengan MPR, DPR, Presiden, dan kepartaian. Kecuali bila kebetulan berhubungan dengan KPK. 

Kasak-kusuk mengenai gerakan masyarakat ini yang beraspirasi (entah kenapa konotasinya bagi saya selalu menjadi naturally aspirated dan independent throttle bodies), atau diaspirasikan menjadi parpol, mungkin karena banyak diisi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia kepartaian, tidak juga memberi banyak arti. Mungkin yang menarik adalah bagaimana Metro TV memberi liputan yang lebih, jelasnya karena dipimpin oleh Surya Paloh.

Juga berita tentang rapat DPR dan KPK, dimana Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah ditolak kehadirannya. Alasannya karena status tersangka dari kedua orang tadi. Namun anehnya, ketika beberapa bupati atau walikota ditahan karena dakwaan korupsi, mereka masih diakui untuk menjalankan kepemerintahannya, dan bisa melakukannya dari dalam penjara.

Hal menarik dari tayangan itu adalah ketenangan dari para pimpinan KPK yang hadir lengkap. Mereka diam memperhatikan, sambil sesekali menampakkan senyum ketika bintang rapat yang biasa, Ruhut Sitompul, mengeluarkan pernyataan-pernyataan khasnya, terutama ketika ia menunjuk Golkar dengan sebuah atribut, yang tidak saya dengar jelas waktu itu. Anggota Golkar yang tidak terima langsung merebut mic dan menyanggah, sambil sedikit menantang Ruhut untuk menjelaskan maksudnya.

Karena menonton sambil kelakepan, maka saya tidak ingat siapa anggota yang marah saat itu.

Entah kenapa, setiap menonton acara begitu, saya mendapat kesan kalau mereka tidak bisa berbicara langsung. Setiap inti yang hendak dibicarakan selalu dibelitkan ke banyak hal. Seperti mendengarkan audiobook dari diskursus filsafat (saya sekadar membaca-sebelum-tidur), dengan pengecualian, bahwa inti yang mereka sampaikan itu sangat ringan, mungkin malah tidak ada. Bisa jadi karena saya tidak terlalu tertarik. Lagipula manfaat yang bisa diperoleh dari acara semacam itu hanyalah humor, atau bahan tulisan kacangan seperti ini, entah seberapa sarkastis ujungnya.

Jika tidak salah, sebutan untuk orang-orang berjas di Senayan itu adalah elite politik. Sesuai namanya, elite, mereka adalah berbeda dari awam maupun proletariat. Mereka ada karena sistem demokrasi representatif yang dianut Indonesia. Mereka adalah awam dan proletariat yang diangkat untuk menjadi elite, entah dengan kriteria seperti apa.

Tugas mereka adalah berdiskusi mengambil keputusan tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk Indonesia, lebih dari sekedar perebutan kekuasaan. Entah bila penyederhanaan ini ternyata mengambil contoh dari rapat RT, RW, kelurahan, atau desa. Tetapi terkadang suasana demokratis lebih terasa disana, daripada gambaran situasi yang ada di televisi. Secara pribadi saya menganggap orang-orang berjas adalah berwibawa, dan orang-orang berbatik adalah bersahaja dan tenang. Namun melongok dari kenyataan, mungkin kebalikan dari asumsi saya adalah yang benar.

Kaum elite mungkin sudah nikmat bekerja seperti itu, bergulat satu dengan lainnya, berangkulan satu dengan lainnya, entah tujuannya apa. Mereka seakan seperti bulir lalang yang ikut tunduk dengan angin, untuk kemudian bangkit lagi sambil menyerap rakus nutrisi tanah. Mereka memang seharusnya ada, namun dengan fungsi minimal.

Elite tercipta dengan adanya awam dan proletariat yang percaya akan kemampuan memimpin elite. Namun kepercayaan ini akhirnya dipermainkan. Awam dan proletar yang menjadikan mereka elite dilupakan. Mungkin tidak akan salah bila nanti ada sebuah gerakan lagi menuntut perubahan. Mungkin akan berdarah-darah, atau berdarah saja. Entah siapa nanti yang akan mengenakan mahkota duri nantinya. Atau siapa-siapa saja.

Senin, 31 Januari 2011

No comments:

Post a Comment