Satu waktu sembari mendengar musik, saya berpikir, kenapa ada begitu banyak lagu yang beredar di masyarakat? Kenapa ada musik rock (dan berbagai keturunannya), pop (mungkin mellow, karena pop adalah populer, sehingga tidak ada jenis khususnya), jazz, hip-hop, elektro, dan sebagainya? Dan lagi, ada banyaknya musisi yang menyediakan hiburan di genre masing-masing. Apa yang membuat orang begitu banyak membuat lagu?
Pertama-tama, kita mengenal album. Biasanya berisi sepuluh lagu, dan merupakan produk ke-musisi-an dari seniman suara. Mereka berpenghasilan dari situ, selain juga dari konser, iklan, datang ke talkshow, dan sumber lainnya. Karena saya bukan seniman, jadi tidak tahu banyak soal ini. Anyway, biasanya juga, ada lagu-lagu yang dilepas duluan di pasaran agar khalayak mengetahui eksistensi dari suatu album. Lagu yang dilepas ini, biasanya, adalah yang memiliki daya tarik terhadap telinga masyarakat. Tentu saja. Agak tolol juga kalimat tadi.
Lagu yang dilepas ini, kalau sukses, akan menjadi hit di radio dan youtube, tak lupa juga di acara-acara chart musik di televisi yang, kurang lebih isinya sama. Si musisi datang, bernyanyi, mempromosikan album yang akan atau sudah dilepas ke pasaran. Dan selebihnya bergantung dari respon masyarakat. Simpel. Bisa jadi seperti album Lady Gaga (umm, saya tidak terlalu mendengarkan Lady Gaga) yang meledak, atau album tengah-tengah PadI yang tidak terlalu sukses.
Katakan saja seorang, atau sekelompok musisi / band, punya empat album sepanjang karirnya, kalikan dengan banyaknya musisi yang ada. Satu musisi paling tidak punya empat puluh lagu. Kalau musisi-musisi sekarang punya inspirasi musisi dulu yang bisa keluar album setiap setahun atau enam bulan, bayangkan. Bila dikalikan lagi dengan selera masyarakat dan musisinya sendiri, yang menghasilkan banyaknya genre, pikirkan sendiri selanjutnya. Mungkin itu penjelasan agak masuk akal untuk banyaknya lagu yang beredar, entah yang masih layak dengar atau sudah dianggap kadaluarsa.
Sayangnya, dalam sebuah album normal, bukan greatest hits, entah kenapa tak selalunya semua lagu enak untuk didengarkan. Sepanjang pendengaran saya, mungkin, hanya album PadI yang Tak Hanya Diam yang semuanya enak didengarkan. Anda bisa punya pendapat lain dalam hal ini. Saya tidak tahu apakah ini benar, tapi memang dalam bisnis musik model album begini, ada lagu-lagu yang diperlakukan sebagai filler, alias pengisi. Tidak punya daya dobrak.
Pertanyaannya selanjutnya adalah, kenapa musisi bersusah payah menciptakan lagu yang mungkin mereka tahu tidak akan terjual baik? Mungkin untuk memenuhi syarat sebuah album dari sisi kuantitas. Di zaman dulu, agak susah rasanya jualan lagu per buah, apalagi belum ada mp3 player. Bosan kan harus mendengarkan kaset atau CD atau vinyl yang isinya hanya satu atau beberapa, tidak lebih dari lima lagu. Dan bila harus sering mengganti kaset/CD/vinyl dari player-nya hanya untuk mendengarkan lagu lainnya, susah juga. Jadi ini masih masuk akal.
Namun di era digital ini, kenapa masih ada yang mau untuk memproduksi lagu-lagu filler? Secara pribadi, peran album di mp3 player saya adalah sebagai pembantu klasifikasi saja. Bukan sebagai napaktilas perjalanan musik sebuah band atau seorang penyanyi, yang memiliki warna berbeda di setiap produknya. Saya kira, keengganan untuk beranjak dari bentuk CD masih menghinggapi cukup banyak musisi. Dan oleh karenanya, masih akan banyak lagu-lagu yang diciptakan sekadarnya.
Mungkin ini terlalu banyak berharap terhadap musisi yang bekerjanya tergantung inspirasi untuk kemudian dituangkan dalam karya audionya. Memang susah untuk selalu menciptakan album yang selalunya berkesan greatest hits. Namun ketika khalayak memandang karya-karya yang menurutnya adalah masterpieces, timeless classics, mungkin arus pendapatan yang didambakan akan mengalir lebih lancar dari sebelumnya.
Minggu, 26 Desember 2010
Pertama-tama, kita mengenal album. Biasanya berisi sepuluh lagu, dan merupakan produk ke-musisi-an dari seniman suara. Mereka berpenghasilan dari situ, selain juga dari konser, iklan, datang ke talkshow, dan sumber lainnya. Karena saya bukan seniman, jadi tidak tahu banyak soal ini. Anyway, biasanya juga, ada lagu-lagu yang dilepas duluan di pasaran agar khalayak mengetahui eksistensi dari suatu album. Lagu yang dilepas ini, biasanya, adalah yang memiliki daya tarik terhadap telinga masyarakat. Tentu saja. Agak tolol juga kalimat tadi.
Lagu yang dilepas ini, kalau sukses, akan menjadi hit di radio dan youtube, tak lupa juga di acara-acara chart musik di televisi yang, kurang lebih isinya sama. Si musisi datang, bernyanyi, mempromosikan album yang akan atau sudah dilepas ke pasaran. Dan selebihnya bergantung dari respon masyarakat. Simpel. Bisa jadi seperti album Lady Gaga (umm, saya tidak terlalu mendengarkan Lady Gaga) yang meledak, atau album tengah-tengah PadI yang tidak terlalu sukses.
Katakan saja seorang, atau sekelompok musisi / band, punya empat album sepanjang karirnya, kalikan dengan banyaknya musisi yang ada. Satu musisi paling tidak punya empat puluh lagu. Kalau musisi-musisi sekarang punya inspirasi musisi dulu yang bisa keluar album setiap setahun atau enam bulan, bayangkan. Bila dikalikan lagi dengan selera masyarakat dan musisinya sendiri, yang menghasilkan banyaknya genre, pikirkan sendiri selanjutnya. Mungkin itu penjelasan agak masuk akal untuk banyaknya lagu yang beredar, entah yang masih layak dengar atau sudah dianggap kadaluarsa.
Sayangnya, dalam sebuah album normal, bukan greatest hits, entah kenapa tak selalunya semua lagu enak untuk didengarkan. Sepanjang pendengaran saya, mungkin, hanya album PadI yang Tak Hanya Diam yang semuanya enak didengarkan. Anda bisa punya pendapat lain dalam hal ini. Saya tidak tahu apakah ini benar, tapi memang dalam bisnis musik model album begini, ada lagu-lagu yang diperlakukan sebagai filler, alias pengisi. Tidak punya daya dobrak.
Pertanyaannya selanjutnya adalah, kenapa musisi bersusah payah menciptakan lagu yang mungkin mereka tahu tidak akan terjual baik? Mungkin untuk memenuhi syarat sebuah album dari sisi kuantitas. Di zaman dulu, agak susah rasanya jualan lagu per buah, apalagi belum ada mp3 player. Bosan kan harus mendengarkan kaset atau CD atau vinyl yang isinya hanya satu atau beberapa, tidak lebih dari lima lagu. Dan bila harus sering mengganti kaset/CD/vinyl dari player-nya hanya untuk mendengarkan lagu lainnya, susah juga. Jadi ini masih masuk akal.
Namun di era digital ini, kenapa masih ada yang mau untuk memproduksi lagu-lagu filler? Secara pribadi, peran album di mp3 player saya adalah sebagai pembantu klasifikasi saja. Bukan sebagai napaktilas perjalanan musik sebuah band atau seorang penyanyi, yang memiliki warna berbeda di setiap produknya. Saya kira, keengganan untuk beranjak dari bentuk CD masih menghinggapi cukup banyak musisi. Dan oleh karenanya, masih akan banyak lagu-lagu yang diciptakan sekadarnya.
Mungkin ini terlalu banyak berharap terhadap musisi yang bekerjanya tergantung inspirasi untuk kemudian dituangkan dalam karya audionya. Memang susah untuk selalu menciptakan album yang selalunya berkesan greatest hits. Namun ketika khalayak memandang karya-karya yang menurutnya adalah masterpieces, timeless classics, mungkin arus pendapatan yang didambakan akan mengalir lebih lancar dari sebelumnya.
Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment