Wednesday, December 29, 2010

Garuda

Saya selalu teringat burung Phoenix kalau melihat sebuah Garuda. Sama-sama simbol penting bagi pemaknanya masing-masing. Dan ketika burung api tersebut mati, ia akan hidup kembali untuk menjalani yang selanjutnya.

Ketika Garuda kalah di jiran, segenap warga negara mengharapkan kebangkitannya di tanah negeri. Namun kenyataannya, kebangkitan yang diharapkan tidak cukup untuk mengubah nasib yang ditentukan sebelumnya.

Timnas kita memiliki banyak kelemahan, tentu banyak orang tahu. Dalam pertandingan final ini, mental kita terlihat betul belum sepenuhnya matang. Kita gugup. Akibatnya cukup sering umpan jauh tidak sampai, yang sebetulnya bisa mengubah tempo pertandingan dengan singkat apabila sampai sasaran. Juga dengan bombardir umpan silang yang tidak terlalu matang. Pola serangan yang dibangun oleh timnas pun terkesan apa adanya. 

Hal-hal lain yang bisa diperhatikan adalah kurangnya koordinasi. Sering terjadi penumpukan pemain di satu posisi, sehingga aliran bola tidak bisa lancar untuk membuka serangan melalui ruang kosong. Juga keragu-raguan pemain yang menghambat permainan.

Yang menyesakkan adalah ketika ada banyak peluang depan gawang lawan yang sebetulnya bisa dimaksimalkan. Sangat disayangkan bahwa Cristian Gonzales sudah tidak terlalu gesit. Padahal dalam momen-momen seperti itu, kegesitan dan inisiatif tindakan adalah penting. Namun kita boleh angkat jempol untuk kiper timnas Malaysia ini, yang memangnya bermain bagus saat pertandingan ini.

Kita kalah, 4-2. Itu pun rasanya sudah dibantu dengan wasit yang lemah gemulai, dan agak memihak Indonesia. Sebuah hasil yang sungguh antiklimaks. Namun bila ditilik lebih lanjut, tren permainan kita memang menurun. Kita memulai dengan bombastis, namun menjelang saat krusial, kita melempem. Entah apa yang sebetulnya menjadikan begitu. Mungkin saja rasa besar diri yang berlebih.

Tapi tak perlu banyak bersedih. Timnas Indonesia menunjukkan perkembangan berarti dibanding beberapa tahun lalu. Mungkin hampir sama dengan era kepelatihan Peter Withe. Tentu saja kita berharap bahwa PSSI akan semakin berbenah diri, agar prestasi kita ini masih ada sambungannya. Penanganan liga domestik juga harus dibenahi, agar tidak berkesan pertandingan tarkam. Lebih enak rasanya nonton futsal di jalanan daripada nonton liga.

Heran juga seorang NHarapidana bisa mencium tangan presiden setelah pertandingan selesai. Apakah presiden tidak tahu bahwa dia itu mustinya dipenjara? Memangkah presiden terlarut dalam atmosfer pertandingan, sehingga tak sadar tangannya dipinjam sebentar, dan tidak mengetahui siapa yang meminjam?

Paling tidak, kita masih punya harapan akan pemain-pemain berkualitas dalam jangka panjang. Arif Suyono, Irfan Bachdim, Okto Maniani, dan M. Nasuha, juga beberapa pemain yang luput dari pantauan saya, merupakan sumber kebanggaan di masa depan. 

Garuda akan tetap ada di hati rakyat Indonesia. Kami percaya timnas akan maju. Asal bung NHarapidana sadar akan keberadaannya, yang seharusnya adalah di penjara.

Rabu, 29 Desember 2010

No comments:

Post a Comment