Komuni Pagi
Setelah hari-hari
penuh kebingungan, akhirnya dokter memberi saran untuk tes ‘tahan aliran
darah’, nggak tahu nama ilmiahnya. Tiga jam setelah saran dokter, seorang
suster datang untuk melakukan tes. Alat pengukur tekanan darah itu dipasang,
dan tekanannya tak dilepas (selangnya ditekuk dan diberi karet agar tidak
lepas), jadi di lengan saya seperti ada Zeppelin. Atau untuk kalian yang nonton
UP, Spirit of Adventure.
Ternyata suster itu
dulu pun pernah dites dengan metode ini. Testimoni-nya, tangannya kram dan
akhirnya sempat mati rasa. Jelas lah, lha wong aliran darahnya dihambat. Tapi
aku dengan sombongnya merasa tes ini bukan apa-apa, toh dulu sempat push-up
100x nonstop waktu dihukum di Asrama SMA. Pasti itu lebih sakit.
Tapi ternyata salah
besar. Baru sekitar satu menit, rasanya tanganku sudah geringgingen tidak karuan. Pembuluh darah membesar, dan otot-otot
kaku. Kugerakkan, dan agak sakit. Namun ada alasan untuk gembira. Suster tadi
mengatakan kalau timbul bintik-bintik merah, berarti aku positif demam
berdarah. Dan tidak ada bintik-bintik merah, setelah sekitar sepuluh menit
semenjak mulai. Bakalan cepat pulang nih.
Sayangnya,
kegembiraan itu hanya tipu-tipu belaka. Begitu alat tensi dilepas,
bintik-bintik keparat itu muncul serentak menghias lenganku. Banyak sekali,
namun kok kelihatannya cukup bagus. Mungkin kalau kulitku agak putih itu bisa
jadi semacam abstract art. Keren lho,
apalagi di bagian siku dalam, dimana ada campuran bintik merah dan garis vena
yang agak kebiruan. Mantab sekali.
Namun dibalik
setiap bencana, ada hikmah. Paling tidak, sekarang ketahuan jelas apa penyakit
yang kuderita, tak harus selalu ci-luk-ba dengan hasil tes darah harian yang
selalu saja negatif.
Meski begitu, ini
bukan akhir dari tes tersebut. Kadar trombosit dalam darahku harus tetap
dipantau. Intinya, kalau trennya naik, maka ada kemungkinan aku bisa pulang. Ada harapan kan?
Aku senang sekali, meski sedih harus berpisah dengan AC yang bisa menyala dua puluh empat jam.
Kangen dengan
matahari, itu jelas, tapi dengan kondisi Samarinda yang kalau kena sinar
matahari sedikit bisa nyelekit, relasiku dengannya adalah putus-nyambung
disambi galau-galau gaje. Khas anak muda.
Dan esoknya
matahari pagi muncul lebih cepat. Sinarnya tidak datang melalui jendela, namun
oleh seorang biarawati yang datang ke kamarku, menawarkan pelayanan komuni. Di
saat itu aku baru sadar tentang arti sebuah pelayanan oleh komunitas.
Siapa yang tak
senang kalau dikunjungi oleh seorang yang berarti dalam komunitas atau
lingkungan, lalu diberi hal khusus? Benar bahwa biarawati ini menawarkan
pelayanan yang sama pada setiap pasien Katolik, namun apa yang diberikan
benar-benar bernuansa personal.
Orang-orang
manajemen mengenal apa itu emotional
labour, yang biasanya ditekankan dari luar. Kebalikannya, sikap biarawati
ini seperti terpancar dari dalam. Tanpa pretensi untuk profit atau motivasi
murah lainnya. Memang tidak bisa dibandingkan dengan organisasi bisnis, tetapi
berkaitan dengan konsep service, dua
hal ini jelas punya benang merah. Bahwa sesuatu yang sifatnya intangible, mau tak mau harus dikerjakan
tidak seratus persen dengan otak, kalau menghendaki hasil yang optimal.
Hal ini juga
membuatku sedikit merenung. Pada sesi doa pagi itu, mungkin termasuk dalam
kesempatan yang bisa dihitung dengan jari, bahwa aku bisa berkonsentrasi
mengikutinya. Biasanya pikiranku malah melayang entah ke mana.
Mungkin berkaitan
dengan hal intangible tadi, ini
adalah satu kesempatan langka dimana hatiku bisa utuh mengikuti kehendak-Nya.
Bahwa kegiatan spiritual itu perlu hati yang ikhlas untuk diisi dan tak
keberatan mengisi milik orang lain.
Sayangnya, kegiatan
yang bersifat rutin seperti ini bisa mengikis unsur ‘penting’ dari makna
kegiatan tersebut. Boleh dikatakan, ada kemungkinan untuk melihat kegiatan
tersebut sebagai kewajiban, sehingga kadang bisa mengambil cuti untuk tidak
mengikutinya. Ini hanya masalah cara berpikir, tetapi cara berpikir yang
menentukan.
Dan di masa
Prapaskah ini, ada baiknya kalau kita memandang itu sebagai occasion, opportunity, atau malah privilege,
bukan lagi sebagai chore.
No comments:
Post a Comment