Thursday, March 01, 2012

Menyambung Waktu: Catatan Harian Rumah Sakit 5

Komuni Pagi

Setelah hari-hari penuh kebingungan, akhirnya dokter memberi saran untuk tes ‘tahan aliran darah’, nggak tahu nama ilmiahnya. Tiga jam setelah saran dokter, seorang suster datang untuk melakukan tes. Alat pengukur tekanan darah itu dipasang, dan tekanannya tak dilepas (selangnya ditekuk dan diberi karet agar tidak lepas), jadi di lengan saya seperti ada Zeppelin. Atau untuk kalian yang nonton UP, Spirit of Adventure.

Ternyata suster itu dulu pun pernah dites dengan metode ini. Testimoni-nya, tangannya kram dan akhirnya sempat mati rasa. Jelas lah, lha wong aliran darahnya dihambat. Tapi aku dengan sombongnya merasa tes ini bukan apa-apa, toh dulu sempat push-up 100x nonstop waktu dihukum di Asrama SMA. Pasti itu lebih sakit.

Tapi ternyata salah besar. Baru sekitar satu menit, rasanya tanganku sudah geringgingen tidak karuan. Pembuluh darah membesar, dan otot-otot kaku. Kugerakkan, dan agak sakit. Namun ada alasan untuk gembira. Suster tadi mengatakan kalau timbul bintik-bintik merah, berarti aku positif demam berdarah. Dan tidak ada bintik-bintik merah, setelah sekitar sepuluh menit semenjak mulai. Bakalan cepat pulang nih.

Sayangnya, kegembiraan itu hanya tipu-tipu belaka. Begitu alat tensi dilepas, bintik-bintik keparat itu muncul serentak menghias lenganku. Banyak sekali, namun kok kelihatannya cukup bagus. Mungkin kalau kulitku agak putih itu bisa jadi semacam abstract art. Keren lho, apalagi di bagian siku dalam, dimana ada campuran bintik merah dan garis vena yang agak kebiruan. Mantab sekali.

Namun dibalik setiap bencana, ada hikmah. Paling tidak, sekarang ketahuan jelas apa penyakit yang kuderita, tak harus selalu ci-luk-ba dengan hasil tes darah harian yang selalu saja negatif.

Meski begitu, ini bukan akhir dari tes tersebut. Kadar trombosit dalam darahku harus tetap dipantau. Intinya, kalau trennya naik, maka ada kemungkinan aku bisa pulang. Ada harapan kan? Aku senang sekali, meski sedih harus berpisah dengan AC yang bisa menyala dua puluh empat jam.

Kangen dengan matahari, itu jelas, tapi dengan kondisi Samarinda yang kalau kena sinar matahari sedikit bisa nyelekit, relasiku dengannya adalah putus-nyambung disambi galau-galau gaje. Khas anak muda.

Dan esoknya matahari pagi muncul lebih cepat. Sinarnya tidak datang melalui jendela, namun oleh seorang biarawati yang datang ke kamarku, menawarkan pelayanan komuni. Di saat itu aku baru sadar tentang arti sebuah pelayanan oleh komunitas.

Siapa yang tak senang kalau dikunjungi oleh seorang yang berarti dalam komunitas atau lingkungan, lalu diberi hal khusus? Benar bahwa biarawati ini menawarkan pelayanan yang sama pada setiap pasien Katolik, namun apa yang diberikan benar-benar bernuansa personal.

Orang-orang manajemen mengenal apa itu emotional labour, yang biasanya ditekankan dari luar. Kebalikannya, sikap biarawati ini seperti terpancar dari dalam. Tanpa pretensi untuk profit atau motivasi murah lainnya. Memang tidak bisa dibandingkan dengan organisasi bisnis, tetapi berkaitan dengan konsep service, dua hal ini jelas punya benang merah. Bahwa sesuatu yang sifatnya intangible, mau tak mau harus dikerjakan tidak seratus persen dengan otak, kalau menghendaki hasil yang optimal.

Hal ini juga membuatku sedikit merenung. Pada sesi doa pagi itu, mungkin termasuk dalam kesempatan yang bisa dihitung dengan jari, bahwa aku bisa berkonsentrasi mengikutinya. Biasanya pikiranku malah melayang entah ke mana.

Mungkin berkaitan dengan hal intangible tadi, ini adalah satu kesempatan langka dimana hatiku bisa utuh mengikuti kehendak-Nya. Bahwa kegiatan spiritual itu perlu hati yang ikhlas untuk diisi dan tak keberatan mengisi milik orang lain.

Sayangnya, kegiatan yang bersifat rutin seperti ini bisa mengikis unsur ‘penting’ dari makna kegiatan tersebut. Boleh dikatakan, ada kemungkinan untuk melihat kegiatan tersebut sebagai kewajiban, sehingga kadang bisa mengambil cuti untuk tidak mengikutinya. Ini hanya masalah cara berpikir, tetapi cara berpikir yang menentukan.

Dan di masa Prapaskah ini, ada baiknya kalau kita memandang itu sebagai occasion, opportunity, atau malah privilege, bukan lagi sebagai chore.

No comments:

Post a Comment