Tuesday, June 28, 2011

Jalan Rusak Tanda Bangsa Juga Rusak

Samarinda merupakan satu kota yang selalu dihantui dua masalah, yaitu banjir dan jalan berlubang setelahnya. Kaitannya jelas, fondasi jalan yang rapuh, kemudian dihantam kendaraan (lebih tepatnya truk) kelebihan muatan, dan retakan yang terjadi diisi air curahan entah darimana. Akibatnya, hampir di semua jalan terdapat lubang-lubang.


Secara pribadi, saya kesal terhadap lubang. Paling menyebalkan ketika sedang mengendarai motor dan berada dibelakang satu mobil. Mobil bisa dengan mudah melangkahi lobang di jalan, meninggalkan pengendara motor dibelakang tak bisa mengerem tiba-tiba dan pindah arah menghindari ceruk itu. Mau tak mau lubang itu diterima saja, meski dibarengi rasa takut akan velk yang peyang.

Entah sudah berapa jaman walikota silih berganti, dan kebanyakan berjanji meniadakan banjir dan jalan berlubang. Namun sudah beberapa lama jalan di kompleks perumahan saya lubangnya malah bertambah.

Tetapi selain ini, ada masalah yang lebih pelik. Bila jalan berlubang perkotaan atau kabupaten dianggap parah, maka jalan-jalan penyambung antar kabupaten atau kecamatan di daerah agak pedalaman boleh dikatakan neraka. Aspal boleh dibilang sebagai luxury. Dan bila ada, kondisinya akan baik bila baru saja dikerjakan. Setelah itu, kemungkinan besar dibiarkan menjadi satu dengan tanah fondasinya lagi. Atau membaur dengan lumpur di pinggirnya.

Bila berada di kondisi seperti itu, maka kendaraan 4x4 atau yang dengan dua gardan mutlak menjadi pilihan, apalagi bila hujan. Sebagai ilustrasi, saya pernah pergi ke tempat dengan kondisi jalan serupa, dan di tengah jalan ada truk terguling. Paling mujur bannya ambles ke lumpur. Dan itu pasti hingga hari berikutnya menunggu jalan kering, atau menunggu bantuan dari sesama truk. Kalau hujan lagi, maka tunggu lusa. Kendaraan 'normal' seperti Toyota Kijang dan Avanza/Xenia tak bisa lewat. Tidak jarang pula mereka terjebak di tengah jalan dan menghalangi arus kendaraan lain yang bisa terus.

Saya dalam satu kesempatan menumpang mobil L200 dan melewati jalan itu, dan kebetulan beberapa jam sebelumnya hujan. Jalan itu berlumpur, sehingga kondisi jalannya sangat licin. Sudah terbentuk antrian kendaraan yang menunggu keringnya tanah. Kami jalan terus, dan dengan diferensial depan tersambung, rasanya seperti rekreasi saja melewati medan seperti itu.

Sempat pula dalam satu pembicaraan, ada peluang bisnis yang tercipta dengan situasi tersebut. Modalnya cukup satu kendaraan 4x4 bertenaga besar standby disana (ide awalnya L200), dan menyediakan jasa penarikan kendaraan yang terjebak lumpur. Sekali operasi dikenakan biaya Rp 150,000.00-200,000.00 untuk uang bensin dan ganti differential kalau aus atau tiba-tiba meledak. Namun harga mobil paling murah adalah sekitar Rp 200an juta, dan diantara yang ngobrol tak ada yang berani keluar modal. Apalagi si pencetus ide, saya.

Namun ide yang hendak disampaikan disini adalah susahnya memindahkan orang dan barang dengan kondisi seperti itu. Perlu modal lebih dari sekadar kendaraan angkut masa kini semacam Gran Max atau kendaraan legendaris L300. Dan imbasnya tentu saja ke harga eceran untuk konsumen akhir. Belum lagi bila pasokan barang terlambat datang ke tujuan, sehingga harga menjadi lebih mudah dipermainkan oleh penjual.

Permasalahan kompleks ini banyak terjadi di daerah-daerah terpencil, yang kondisi jalannya begitu mengenaskan. Mereka dengan daya beli yang tidak sebesar masyarakat di daerah yang lebih berkembang, harus puas dengan tingkat harga yang tidak mendukung kantong mereka. Dan akhirnya bisa diterima akal sehat bila para penduduk daerah perbatasan kita tidak bisa berkembang dengan baik. Barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok kita malah menjadi barang mewah bagi mereka.

Itu permasalahan yang jelas. Yang tidak terlalu jelas, kenapa di perkotaan, yang notabene perputaran uangnya lebih baik, infrastrukturnya juga parah. Kita mungkin bisa dengan mudah mengatakan akibat korupsi yang endemik, namun selain itu tentunya ada banyak hal-hal lain yang juga mempengaruhi.

Salah satunya mungkin adalah tata kota. Adalah jamak bila kita mengetahui kalau banyak kota-kota di Indonesia yang konsep pembangunannya serampangan, dan mengambil tempat di sebelumnya-area-hijau. Kita punya konsep pembangunan mumpuni yang salah arah. Akhirnya, aliran air hujan tidak tersalurkan dengan baik dan menggenangi jalan. Banjir dan jalan berlubang tentu menjadi tanda jelas bagi orang lain tentang kita yang rabun jauh di konsep pembangunan.

Namun dari segala ketidak becusan itu, bisa ada peluang usaha. Ketika banjir besar, maka akan ada orang-orang yang menyediakan jasa angkutan air banjir, dengan rakit dan mesin tempel atau dayung besar. Selain itu, bila banyak jalan berlubang, maka di bengkel-bengkel akan ada spesialisasi perbaikan velk yang peyang. Itu akan membuka lapangan kerja baru, meski mungkin tak akan terlalu banyak.

Tapi mungkin ini semua terlalu optimistis. Namun bukan tidak mungkin untuk dilaksanakan.

Minggu, 15 Mei 2011

No comments:

Post a Comment