Friday, April 08, 2011

Toko Buku, dan Publikasi Tanpa Bungkus

Hari itu, Kamis 7 April, saya pergi ke Kinokuniya, entah yang keberapa kalinya dalam dua bulan belakangan. Kunjungan saya ke toko buku memang agak meningkat belakangan, mungkin karena sedang bingung mengisi waktu. Dan kesan saya setiap pergi ke toko buku selalu sama. Menyenangkan.

Bagi saya, toko buku itu ibarat Toys 'R Us, atau sex shop bagi kolektor ataupun maniak. Sebuah tempat yang menyediakan kebutuhan penting. Warna-warni toko buku itu bagi saya sama seperti lambaian pelangi yang minta dibeli dan dibawa pulang. Saya seperti anak manja yang minta dibelikan semuanya. Saya senang sebab bisa sedikit-sedikit membaca sinopsis tentang apa-apa saja yang dikatakan orang dalam buku, kemudian mencari-cari tentang itu di internet.

Sayang kemampuan finansial saya terbatas, sehingga perlu membatasi konsumsi kertas ini. Lagipula, adanya internet sering membuat perhatian saya meleng ke berbagai artikel lain (yang diantaranya ada di bagian 'Daily Read' blog ini). Seringnya, waktu khusus membaca hanya ketika sedang dalam perjalanan atau sehabis pulang misa. Dan oleh karena itu, masih banyak buku yang teronggok menunggu dibuka halaman pertamanya.

Sejujurnya, saya merasa agak berdosa ketika terus membeli sambil menyadari koleksi yang belum dibaca. Saya merasakan ada elemen serakah dan nafsu yang merayap dalam hati. Mungkin budaya konsumerisme sudah benar merasuk, dan merambah ke segala bidang yang menyenangkan hati. Mungkin memang dalam beberapa kesempatan rasio itu melemah, dan intuisi yang gelap mengambil alih. Dan entah kenapa hasrat konsumtif ini datangnya waktu Prapaskah...

Dalam kunjungan kali itu, bertambah dua buah lagi koleksi buku saya. Koper penampung buku saya hampir tidak muat waktu dua buku itu dimasukkan kedalamnya.

Kemudian ada satu hal yang sedikit mengusik pemikiran saya dalam berbagai lawatan (kayak bahasa berita koran sepakbola) ke toko buku sini. Kebanyakan bukunya tidak diberi plastik pembungkus. Kecuali buku-buku masak, itupun baru tahu setelah pergi ke bagian itu bareng James.

Majalah biasanya satu eksemplar yang sengaja dibuka bungkusnya. Mungkin itu dijadikan umpan untuk pengunjung sehingga datang, dan agar tidak sekedar baca majalah gratis, membeli terbitan lainnya.

Dari semua buka-bukaan tersebut, anehnya, hampir semua tidak lecek. Buku-buku terasa seperti baru dibuka dari plastiknya. Majalah juga begitu, paling tidak yang biasanya saya langgani. Dan melihat dari hal ini, saya agak heran kenapa banyak publikasi di Indonesia yang diberi plastik bungkus. Padahal jualannya di ruangan ber-AC, tidak di pinggir jalan yang dilanggani debu.

Saya segera mendapat jawabannya. Ketika ibu saya hendak membelikan satu-satunya eksemplar Catatan Seorang Demonstran di Gramedia pusat Jakarta (yang entah dimana itu), ternyata buku itu lecek. Kumal. Dan tidak jadi dibelikan. Saya agak marah, bukan pada ibu saya, tapi pada pelaku pemerkosaan buku tersebut. Ia yang tanpa mengeluarkan uang sepeserpun menikmati buku tersebut, sekaligus merusaknya.

Mungkin mentalitas 'kalo bisa gratis, kenapa mesti bayar' ini masih benar-benar melekat dalam diri kita. Saya tidak memungkiri kalau pernah mencuri baca di toko buku, tapi dengan tujuan memastikan apakah buku itu layak beli atau tidak. Nebeng baca majalah pun pernah, itupun juga sekedar preview. Frekuensi kedua kegiatan tersebut pun jarang, sebab saya lebih sering memastikan dulu di Internet, sebelum berangkat ke toko buku.

Saya sedikit kesal dengan orang yang agak semaunya sendiri seperti itu. Ketika memang ada perlu dengan satu publikasi, jangan mengeksploitasi mentang-mentang ada buku yang dibuka. Satu tangan menuju pada kumpulan tangan, dan mengotori. Untuk buku-buku biasa, saya yakin kebanyakan orang mampu untuk membeli.

Bila beralasan uangnya tak cukup, pasti bisa ditambah dari pengurangan pengeluaran lain. Patungan dengan teman pun bisa, perjanjian harga bisa diatur sendiri. Dan kalau benar-benar mepet, pergilah ke perpustakaan terdekat. Materi-materi dengan isi serupa pasti tersedia. Buku akan benar dirawat dan dihargai kalau didapat dengan pengorbanan pribadi.

Sekarang saya mulai mengerti kenapa buku diberi plastik, dan situasi perbukuan kita itu parah.

Kamis, 7 April 2011.

PS
Rasanya saya nggak bisa ke toko buku kalau nggak beli sesuatu. Selected Writings dari Thomas Aquinas masuk daftar pustaka setelah tulisan ini terbit, setelah dua buku yang saya sebutkan disini.

No comments:

Post a Comment