Belakangan ini seorang teman (James tepatnya) sering memberi cerita tentang Libya. Sebelumnya, saya membaca laporan khusus Tempo terhadap revolusi di Mesir. Cerita di berbagai publikasi pun seragam. Rezim diktator atau totaliter yang sedang atau sudah ditumbangkan oleh kekuatan rakyat. Ada sebuah revolusi yang bergerak.
Seperti yang saya pahami, rezim totaliter bersifat membungkam. Selain itu, rezim totaliter memberi kesempatan pada sekelompok kecil elite, minoritas tentu saja, untuk memanipulasi mayoritas dalam rangka memperoleh manfaat untuk diri sendiri. Maka dalam berita kita lihat Hosni Mubarak punya banyak harta, dan Muammar Gadaffi punya empat puluh gadis (dalam arti sesungguhnya), sebagai pengawal.
Dibalik cerita buruknya, totaliter punya sisi positif yang mungkin tak sering dilirik. Ketika sebuah kekuasaan berada dalam satu pihak yang tak berkontradiksi, atau tidak punya banyak aspek, maka pembangunan akan selaras. Tak akan ada tumpang tindih atas perencanaan dan pelaksanaan. Konflik sesegera mungkin diredam demi keberlangsungan pembangunan, atau kekuasaan. Tentu saja, ini harus dibarengi dengan moral yang baik dari institusi pemimpin. Totaliter, dalam pikiran pribadi saya, cocok ketika suatu negara baru saja berdiri, dan masih mencari-cari bentuknya.
Namun ini tak bisa dijalankan terus menerus. Sama seperti seorang anak kecil harus banyak diatur agar paham aturan, ketika dewasa ia harus diserahkan pada tanggung jawabnya. Pemberian aturan yang terlalu banyak dan sering akan membuat kehendak bebas dari manusia mubazir. Perkembangan mental dan kognitifnya yang dibentuk atas aturan yang keras tadi tidak akan berguna. Sebaliknya bila seorang dibiarkan bebas sedari kanak-kanak, maka ia kemungkinan besar tak akan punya bayangan akan suatu panduan untuk masa dewasanya. Tanggung-jawabnya ketika dewasa akan bersandar pada sesuatu yang kosong.
Dan inilah yang mungkin sedang terjadi. Rezim totaliter terjadi begitu lama karena kebijakan negara memerintahkan begitu. Kekuasaan yang ada mengatur agar kuasa itu tidak berpindah ke tangan yang lain, dan oleh kuasa itu ia mendapat yang lebih lagi, agar kuasa itu tidak berpindah. Ada siklus tak berhenti bila kuasa ini tetap bertahan pada tempat yang sama, dan bila tak ada kekuasaan lain yang punya kemampuan untuk memindahkannya.
Maka ketika secara legal dan wacana segalanya mentok, fisik bertindak. Kekuasaan dan segala tetek bengeknya tak lebih adalah suatu konsep yang dijalankan secara fisik, atau militer dan kekerasan kalau mau. Ketika yang dibawah kuasa menolak menerima kuasa, akan ada konflik yang berakar dari perbedaan tadi. Masyarakat yang bosan terhadap rezim totaliter akan menolak untuk menjalankan perintah dari penguasa, dan berkemungkinan untuk menggulingkan rezim itu. Dari sini adalah bibit-bibit untuk perubahan cepat, atau revolusi.
Perlu ditekankan, bahwa revolusi tak semena-mena dikarenakan bosan diatur-atur. Revolusi secara garis besarnya bersumber dari ketidakpuasan, seperti robohnya aristokrasi di Perancis. Sistem yang memberi manfaat lebih untuk kelompok kecil penguasa dan kaum ningrat dengan ongkos dari rakyat banyak, adalah sumber revolusi terbaik, menurut saya. Namun selain dalam konteks sos-pol, revolusi pun bisa terjadi dalam banyak situasi yang menuntut perubahan cepat. Tak terkecuali nanti soal PSSI.
Saat terjadi, revolusi memberi harapan. Ia bercita-cita untuk mengubah sistem lama yang dianggap buruk, menjadi sistem baru yang dianggap lebih baik. Pertaruhan antara orde lama dan baru membentuk satu kesempatan untuk menancapkan pengaruh yang lebih kuat. Ini jelas terutama ketika pihak yang kalah sudah habis total, dan yang ada hanya sisa kekuatan dari orde yang menang. Ada risiko besar dibalik harapan besar yang diberikan oleh revolusi. Maka secara teori, kekuatan yang meminta agar orde lama tetap ada harus hilang sama sekali, entah benar-benar hilang atau jika masih bersisa, diputar keyakinannya.
Umumnya, orde lama terdiri dari pemerintah dan militer dan polisi, sedangkan kaum pendukung perubahan terdiri dari masyarakat dan sebagian militer dan polisi yang bersimpati pada masyarakat. Kaum militer dan polisi dalam kasus ini mungkin tak melulu menaati kode etiknya, yang kelihatannya mirip kredo orientasi mahasiswa, yaitu menuruti atasan yang tak mungkin salah. Mereka bisa dianggap menuruti nurani yang bertentangan dengan kehendak atasan. Pada akhirnya, mereka pun manusia yang juga punya free will yang menunggu untuk dilaksanakan, setelah mungkin terkungkung dalam aturan dan birokrasi.
Namun, setelah sekilas mengamati, yang mungkin lebih tepat disebut acuh-tak-acuh-membaca, revolusi tak selamanya berencana. Ia memang bertujuan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik dengan mengganti yang sedang berkuasa, tapi tak selalu memberi resep pengganti apa yang diganti. Revolusi seakan adalah kegiatan setengah matang yang mengandalkan momentum belaka.
Euforia bergelimang selama dan sebentar setelah revolusi berakhir, namun kesenangan dan harapan itu berlangsung dengan kecemasan yang bergantung pada pelaksanaan harapan sebelum revolusi. Apalagi kalau revolusi digerakkan oleh rakyat, tanpa dibelakangi kekuatan politik. Jika memang dibekingi satu atau beberapa kelompok, hampir pasti kelompok-kelompok ini yang nantinya menjadi ganti penguasa, kecuali kalau kelompok ini adalah elemen yang mendadak terbentuk dari masyarakat dan berperan sebagai koordinator.
G.K. Chesterton dalam Orthodoxy (yang kebetulan sedang saya baca), mengalamatkan gejala kurang rencana ini kepada humility, atau 'kerendahan hati'. Orang dulu, entah pada zaman apa yang ia maksud, memiliki kerendahan hati pada metode, dan oleh karenanya selalu berusaha memperbaiki metodenya. Mereka tidak ragu, atau tak punya kerendahan hati terhadap inti dan tujuan dari metode tersebut. Mereka tidak akan berhenti sebelum tujuan itu tercapai, dengan metode-metode yang terus diperbaiki.
Tetapi dalam buku yang sama, ia juga mengungkapkan ciri orang modern yang ragu, yang rendah hati terhadap tujuannya. Keraguan ini bukannya membuat seseorang memperbaiki tujuannya, yang jelasnya abstrak, namun malah menghentikan kegiatan dan metode untuk mencapai tujuan tadi.
Disini, dalam refleksi pribadi saya, ada semacam kesamaan terhadap revolusi modern. Kegiatan memberontak ini mungkin dilandasi keraguan terhadap tujuan apa yang hendak dicapai. Keinginan untuk menjadi lebih baik tentu menjadi yang utama, namun tak pernah lebih dari sekadar mimpi secara garis besar. Ia jarang dijabarkan menjadi sesuatu yang kongkrit, yang lebih detil, yang lebih berpijak pada kenyataan tentang apa-apa saja yang akan dan harus dilakukan. Mimpi memang akan menggerakkan orang, tetapi sampai kapan manusia mau berjuang dalam tidurnya? Karenanya, revolusi pada saat-saat tertentu tak akan selalu membawa kepada penggeraknya hal yang ia inginkan. Bahkan bisa saja sebelum dan setelahnya tak ada beda.
Tak akan disangkal revolusi membutuhkan banyak pengorbanan. Dan sayang sekali kalau ia harus berakhir dengan sesuatu yang tak beda dengan awalnya.
Senin, 28 Maret 2011
No comments:
Post a Comment