Misa Rabu Abu diadakan tanggal 9 Maret lalu. Jelasnya karena abu dioleskan pada dahi peserta misa. Menurut tradisi, abu dikatakan sebagai tanda perkabungan, seperti dicontohkan Ayub dan raja Niniwe yang dimana Yunus bernubuat. Hari itu juga menandai masa yang cukup tidak menyenangkan untuk umat Katolik, yaitu pantang dan puasa.
Secara tekstual, dalam bacaan-bacaan harian di masa prapaskah ini muncul tema yang singular. Penyesalan diri dan pertobatan. Kita diajak untuk membersihkan diri agar bisa menyambut pengampunan yang datang saat peringatan Paskah nanti. Dalam konteks lain, periode empat puluh hari ini juga dilakukan untuk 'menyamai' Ia yang berdiam empat puluh hari penuh di gurun, sebelum memulai karya publiknya.
Pantang dan puasa dalam Gereja Katolik mungkin agak ambigu penjelasannya, apalagi penerapannya. Aturan bakunya mengikat orang dalam usia produktif, 18 sampai 59 tahun, dan ada eksepsi kalau tidak memungkinkan untuk berpantang dan puasa. Dianjurkan untuk tidak makan daging pada hari Rabu Abu, Jumat, dan Jumat Agung. Makan sekali kenyang sehari, dengan dua camilan yang bila digabungkan porsinya lebih kecil dari makan kenyang tadi.
Celahnya banyak. Apa eksepsi untuk tidak berpuasa tadi? Lalu, patokan kenyang itu bagaimana? Daging itu hanya daging sapi atau segala daging? Bolehkah sesuatu yang bersumber dari daging? Kok boleh ngemil? Inilah contoh-contoh pertanyaan yang mungkin diajukan seseorang yang terbiasa dengan aturan detil.
Dalam sejarahnya, memang ada aturan ketat terhadap hal ini. Persyaratan pantang dan puasa tadi seharusnya dijalankan setiap hari, dengan hari Minggu sebagai istirahat, dan boleh tidak berpantang dan puasa. Namun entah kenapa pada satu waktu, peraturan ini diubah menjadi lebih bebas seperti sekarang. Atau saya saja yang tidak mengetahui.
Secara pribadi, dulu saya tidak pernah terlalu pusing menyambut prapaskah. Sebagian karena sebetulnya tidak terlalu menghiraukan. Sebagian lagi karena sehari-harinya memang makan hanya sekali, dan camilan pun sekali.
Itu untuk puasa. Belum termasuk berdoa dan beramal. Dan diantara tiga hal ini, menurut khotbah seorang pater, puasa merupakan hal termudah. Saya agak setuju dengan itu.
Ketika Ia di gurun dan dicobai iblis, perkataan pertamanya adalah “Manusia hidup bukan dari roti saja”. Saya mengimani maksim itu dengan agak berbeda. Saya tidak terlalu mengonsumsi roti, jadi itu sudah satu poin.
Beramal merupakan sampingan dari berpuasa. Karena porsi makan berkurang, maka diharapkan uang dari jatah makanan itu bisa disumbang untuk karya amal, meski bisa saja bukan dari jatah makan. Ingatlah cerita Lazarus yang mengemis dari meja seorang kaya, dan seorang miskin yang menyumbang dua peser hidupnya. Tapi, berapakah yang doyan ikhlas memberi?
Untuk berdoa, ini yang susah. Utamanya sih karena malas, dan sering hilang konsentrasi. Calon penderita ADD mungkin.
Namun jika dilihat secara keseluruhan, saya menganggap masa prapaskah ini sebagai gabungan antara kejujuran dan penyangkalan. Jujur terhadap kemanusiaan, terhadap nafsu, keinginan, dan batasan-batasan diri. Dan hal itu bukan untuk diakui dan dipenuhi, namun untuk disangkal. Ketika kita hanya berpegang terhadap aturan, maka itu bersifat pasti, yang jelasnya bertentangan dengan variasi kondisi manusia.
Saat saya mencoba jujur pada diri sendiri bahwa Internet belakangan merupakan hal yang menyenangkan dan perlu, sempat saya mencoba untuk tidak browsing sehari saja. Tidak bisa. Paling tahan satu jam, itu pun karena harus mengerjakan soal latihan. Begitupun saat memutuskan untuk tidak menonton. Dalam segi makanan sempat juga berpantang, dan memesan nasi goreng tanpa garam. Hambar. Lebih tidak menyenangkan daripada tidak makan daging.
Ada aspek-aspek lebih dalam lagi selain dari aturan yang digariskan, dan bila kita jujur, akan lebih susah untuk disangkal. Dengan jujur bahwa saya bisa tidak makan daging namun tidak kuat tanpa garam, garam inilah yang sebaiknya dipantangkan. Kalau doyan merokok, rokoklah yang ditiadakan. Inilah, yang saya rasa, menjadi inti dari masa prapaskah, dan berlaku tidak untuk puasa saja, namun pula untuk berdoa dan beramal. Apakah arti sebuah pengorbanan dan persembahan bila ia tidak berpengaruh atas kita? Aturan yang bebas itu mengandung arti yang lebih dari sekadar 'boleh tidak melakukan'.
Kita dianjurkan untuk membuka diri, melihat kembali porsi panggilan iman dan suara hati dalam hidup sehari-hari. Kalau tidak kuat dalam prosesnya, ingat saja bahwa kita melakukan ini bukan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk sesama. Dan juga untuk Ia yang mengatasi segalanya, yang tidak akan meninggalkan.
Selamat berjuang, dan semoga iman kita bertambah kuat selama dan setelah masa ini. Semoga damai Kristus beserta kita.
Rabu, 23 Maret 2011
No comments:
Post a Comment