27 “Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari padanya.
28 Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan, seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan.” Lalu sujudlah mereka disana menyembah kepada Tuhan.
Dua kalimat diatas merupakan penggalan dari bacaan pertama untuk hari ini, 22 Desember 2010, yang diambil dari kitab 1 Samuel bab 1. Secara pribadi, saya merenungi dua kalimat tersebut dalam konteks seorang remaja, yang berdiri diantara dua kutub, kanak-kanak dan orang dewasa.
Kita anak-anak muda yang lahir tahun 90an, mungkin mulai paham mengenai pengkomoditasan anak-anak. Anak-anak yang mungkin tidak selalunya dibiarkan bermain, namun juga diikat oleh norma sosial dan harapan dari pihak keluarga. Kita diunjukkan kenyataan akademis lebih dini, harus belajar lebih banyak saat waktu kita seharusnya masih untuk bercanda. Well, mungkin itulah alasan ada beberapa anak yang waktu TK tidak menunjukkan perkembangan signifikan, tidak bisa menulis dan berbicara lancar. Mereka hanya mau bermain ketika itu. Ketika anak TK diajarkan bahasa Inggris, menahan tawa dalam hati sebetulnya.
Kemudian saat beranjak agak dewasa, sampai tingkat SD dan SMP, tentunya kebutuhan akademis semakin tinggi. Tolok ukurnya sangat jelas, nilai rapport. Orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke berbagai tempat kursus agar bisa mengambil beberapa kemampuan. Masih ingat les taekwondo, karate, alat musik, berenang, balet, dan sebagainya? Dan tak ketinggalan les pelajaran, utamanya ilmu pengetahuan alam dan akuntansi. Untung saja tak ada les pelajaran agama, atau PKn (sepengetahuan saya).
Saat SMA, keadaan tidak jauh berbeda. Mungkin tidak selamanya seperti itu, mengabdikan diri di tempat les untuk nilai rapport yang bergelimang cahaya. Kegiatan ekstrakurikuler yang dipilih pun tak semata atas dasar orangtua, namun atas kemauan sendiri.
Ketika ditilik lagi, anak zaman sekarang mungkin sudah tidak lagi dianggap sebagai anugerah Tuhan (kalau anda percaya pada Tuhan). Anak adalah 'raw material' yang bisa diproses menjadi gemilang, demi kebanggan keluarga dan institusi. Diharapkan kelak seorang anak akan (anagram, 'anak', 'akan') menjadi pribadi yang bekerja keras, mempunyai beragam kemampuan, santun, dan taat beragama (parameter penting, apalagi di negara seperti Indonesia). Karakter-karakter diatas memang idaman bagi setiap orang tua, namun apakah dalam proses pencapaiannya, seorang anak harus dikorbankan kekanak-kanakannya? Keegoisan kolektif masyarakat mungkin membenarkan perlakuan seperti ini. Apalagi ketika kepolosan anak-anak dijadikan sarana hiburan massal.
Komentar-komentar mengenai pendewasaan dini anak-anak mungkin sudah bertebaran dimana-mana. Dengan isi yang kemungkinan besar juga serupa. Namun secara pribadi, menilik dari perhelatan 19 tahun hidup, saya berbahagia tidak pernah merasa dipaksa untuk menghilangkan masa kanak-kanak saya, terlepas dari fakta bahwa itu agak dipersingkat. Terima kasih untuk pihak-pihak yang selama ini rela dikerjain dan juga balik mengusili saya, karena sepahit apapun, itulah providentia Dei, mengutip Jakob Oetama.
No comments:
Post a Comment