Sabtu itu saya pergi ke salah satu retail outlet (lebih tepatnya Uniqlo @ 313), dengan tujuan membeli kemeja atau sweater. Namun karena antri kamar pas-nya panjang, berakhir dengan sweater. Saran, jangan pergi ke pusat perbelanjaan saat akhir pekan, dan waktu terbaik untuk kesana adalah hari kerja. Saya pribadi lebih suka melewatkan akhir pekan dengan belajar (ehem), atau melakukan apa saja di rumah. Di. Rumah.
Bagaimanapun (terjemahan Lingoes untuk 'anyway'), satu hal yang mencolok dari Uniqlo adalah sapaan 'Welcome to Uniqlo!' dari para sales assistant, atau SA. Saya tak tahu apa terjemahan dari pekerjaan itu, selain dari 'penjaga toko', atau 'masnya' dan 'mbaknya'. Yang pasti, sapaan itu merupakan bagian dari pekerjaan, yang juga merupakan bagian dari Uniqlo secara keseluruhan.
Dalam kesempatan itu, entah berapa kali saya mendengar mereka menyapa, dan saya pun sering kena sapa karena kebetulan mondar-mandir dekat jalan masuknya. Mungkin dikira orang baru masuk.
Hal ini sebetulnya cukup membuat risih di kuping saya. Secara pribadi, saya lebih suka ke toko (dalam artian store, bukan shop) dengan nuansa toko buku, entah toko apapun itu. Paling tidak, tak banyak pelayan yang berisik dengan sapaan-sapaan semacam itu. Lebih tenang saja rasanya.
Di perjalanan pulang, saya sempat berpikir mengenai emotional labour. Istilah ini merujuk kepada aktivitas menunjukkan emosi dalam pekerjaan, kira-kira. Katakanlah aktor dalam skala kecil, yang terjadi secara cukup massal. Hal ini sering terjadi dalam bidang jasa, sebab kualitas tak bisa ditentukan lewat 'benda'. Dan dalam kasus 'benda', EL digunakan untuk menambah performa dari benda itu sendiri, meski secara eksternal. Untuk situasi Uniqlo sendiri, itu cukup jelas.
Pemikiran itu sebetulnya juga dipicu oleh sopir bus 174 yang saya tumpangi. Dia sopir pertama yang saya tahu yang mengucapkan salam lengkap untuk penumpang yang naik dan turun. Welcome, Good afternoon, Have a nice day, see you again, semuanya diucapkan lengkap, runtut, dan dengan senyum. Bandingkan dengan sopir angkot yang doyan menolak anak sekolah yang tinggal di tempat agak jauh. Agak dendam juga waktu mengingat berdiri panas-panas ditolak sopir angkot.
Tapi, entah kenapa jarang yang membalas sapaan mereka-mereka ini. Apakah memang sudah terlalu terbiasa terhadapnya, merasa terganggu, atau karena tidak harus ditanggapi? Secara pribadi, saya merasa agak bersalah bila tidak menanggapi. Akhirnya, seringkali saya mengangguk kecil saja untuk membalas sapaan mereka. Paling tidak, agar mereka merasa tidak diacuhkan.
Sapaan, mungkin hanya sebuah hal kecil. Tapi bisa jadi ia adalah pengikat manusia secara sosial, alat untuk mengakui keberadaan, sekaligus untuk membantu membuka hubungan baru. Sayang kalau tidak selalu ditanggapi. Atau memangkah kita sudah terlalu individualis?
Rabu, 23 Maret 2011
Rabu, 23 Maret 2011
No comments:
Post a Comment